Rabu, 20 Juli 2011

Melukis Pelangi di Awan Kelabu

Karya: Wahyu Sp.

Anak-anak angin merayapi tubuhku, sejuk mendesaki keringatku yang membasahi pori-pori. Membuatku tetap betah, walau terik matahari sedikit tak bersahabat. Aku bersiap untuk melakukan tendangan superku. Di seberangku berdiri seorang bocah yang juga bermandikan keringat, memasang kuda-kuda, bersiap untuk menghadang tendanganku. Kutatap tajam matanya, dia membalas tatapanku dengan tak kalah tajamnya, seperti seekor elang yang siap memangsa anak ayam. Kulirik sisi kanan dan kirinya, mencari sasaran tembak yang pas, yang tak dapat dijangkaunya. Segera ku mengambil momentum, kutendang bola di hadapanku dengan segenap kemampuanku. Bola itu pun membelah angin, deras melambung tinggi. Sepertinya akan melampaui mistar, senyum merona dari bocah itu. Namun tiba-tiba bola tersebut menukik, senyumnya langsung sirna. Ia mulai panik, tatapannya kembali tajam ke bola yang mengarah ke sudut kanan atas gawangnya. Kukembangkan senyumku, aku yakin ia tak akan bisa menjangkau bolaku. Ia tak terima, langsung ia terbang menepis bolaku. Bolaku pun melambung keluar. Aku kecewa, kusapu wajahku. Ia bangun, tersungging sebuah senyuman kemenangan darinya. Ini adalah percobaanku yang ke 20, dan tetap saja gagal. Sungguh aku kecewa sekaligus bangga terhadap temanku yang sedang tersenyum itu.
“hebat sekali tendanganmu itu kawan!” teriaknya membesarkan hatiku. “Namun sayang, tendanganmu itu masih kalah hebat denganku, ha ha ha” lanjutnya lagi dengan lagak narsis. Aku hanya tertunduk lesu, tak berdaya. Sebenarnya telah ku kerahkan seluruh kemampuanku, namun hasilnya tetap saja nihil. Memang ku akui temanku yang satu ini memiliki bakat yang sungguh luar biasa, apalagi ditambah oleh keuletannya untuk latihan. Maka aku yakin ia akan menjadi kipper yang hebat kelak.
Amat, nama yang sebenarnya sangat umum. Bahkan bisa dibilang nama yang pasaran, layaknya udin. Namun siapa tahu, dari nama yang pasaran itu Tuhan telah menganugerahinya sebuah bakat yang sangat tidak pasaran, yang bisa membuat dirinya terkenal. Tak ada yang istimewa dari bentuk fisiknya. Memiliki tubuh yang agak pendek, dan kurus. Andaikan tes untuk menjadi kipper dilihat dari postur tubuh, maka aku yakin haqqul yakin, Amat tak akan lolos dan terkuburlah bakatnya. Namun beruntung baginya karena penilaian selalu dilihat dari kemampuan, dan ia memiliki spesifikasi untuk itu. Ia bergerak sangat lincah, tak pernah ragu untuk menerjang seperti macan, terbang tinggi dan lompatannya itu juga sangat menawan.
Matahari kembali berancang-ancang untuk turun, namun ia masih galak. Tak dikuranginya panasnya hari. Aku sudah tak tahan lagi, dahaga mulai rayapi tenggorokanku. Aku menyerah pada Amat, ku ajak ia untuk pulang. Namun ia mengelak. Amat masih ingin latihan, kelihatan sekali ia masih sangat bersemangat. Namun sekali lagi kurayu dia untuk mengajak pulang, segala upayaku kuperlihatkan. Sampai pura-pura akan pingsan, karena saking dehidrasinya aku setelah main bola sore ini. Aku tak pernah kurang akal, maka ia pun luluh. Kami pun pulang bersama-sama.
###
Malam menyelimuti. Bintang malu-malu bergelantungan di angkasa. Bulan tetap anggun, namun tetap bersembunyi malu, hanya sedikit yang ditampakkannya. Tak kutahu apa yang sedang dilakukannya. Apakah sedang main petak umpet dengan bumi? Sungguh jiwa yang selalu bergembira. Aku terlena duduk diteras rumahku. Menikmati sebuah pertunjukan seni dari langit.
Rumah Amat bersebelahan dengan rumahku. Ketika aku santai duduk sendirian, tiba-tiba Amat menghampiriku. Sepertinya Abah dan mamanya masih belum pulang dari Amuntai, sehingga ia kesepian di rumah. Ia tersenyum melihatku, kubalas senyumnya. Kutatap raut wajah sahabat karibku yang satu ini, tak ada yang istimewa. Kasian malah sebenarnya, Amat terlihat seperti anak tak terurus. Walau kutahu sebenarnya ibunya sudah mati-matian agar Amat bisa terlihat bersih, namun Amat memang tak mau diurus. Akibatnya, ia terlihat selalu kotor. Seperti yang terlihat sekarang, ku yakin ia sudah mandi, itu terlihat dari rambutnya yang masih agak basah. Tetapi dilehernya itu, masih penuh dengan daki, hitam. Aku bingung, bagaimana sebenarnya cara ia mandi, apa saja yang dibersihkannya? Mungkin baginya mandi itu asal basah saja dan aku yakin pakai sabun pun ia sering lupa. Karena sering kucium setelah ia mandi, tak ada bau harum sabun sedikit pun. Namun yang selalu menjadi daya tarik Amat adalah matanya yang jernih, ia seperti tak ada dalam tubuhnya sendiri. Sepertinya yang dilihatnya adalah benda yang jauh, dan tak kasat mata. lirikannya selalu menjanjikan sesuatu yang indah, hebat dan menantang. Dan itulah yang selalu membuatku betah berada di dekatnya.
Kami tetap diam memandangi malam, aku terbang dalam pikiranku dan aku yakin Amat juga begitu. Setelah lama kami berkelana dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Amat menghadapkan badannya ke hadapku, dan “Praaaankkkk” vas bunga jatuh dan pecah, Amat tak sengaja menyenggolnya. Ia langsung memunguti pecahan-pecahan vas bunga itu.
“maaf yu! Aku gak sengaja” ucapnya. Kelihatannya ia merasa sangat bersalah.
“iya, gak apa-apa kok”balasku. “Tapi kenapa kau sampai ceroboh seperti itu, lalu mendadak menghadapku, seperti ada sesuatu yang ingin segera kau ucapkan. Kau kerasukan setan ya?” candaku.
“iya, tadi aku ingat sesuatu dan ingin memberitahukannya padamu. Tapi sekarang lupa lagi, hehe” selorohnya. Suasana menjadi cair kembali. Ia pun tersenyum, kubalas dengas tertawa. Menertawakan kecerobohannya.
Aku pun membantu Amat untuk membereskannya, kusapu pecahan-pecahan yang kecil supaya tak akan terinjak. Ketika kami sedang asik, tiba-tiba saja sebuah motor secara mendadak berhenti di depan rumah Amat. Orang tersebut kulihat sangat panik, dan segera memanggil nama Amat. Aku mencium ada sesuatu yang buruk terjadi. Merasa dirinya dipanggil, Amat langsung menghampiri orang itu. Aku hanya diam, sapu masih tak lepas dari tanganku. Aku berusaha untuk mendengar apa yang dibicarakan mereka.
“abah dan mama kau kecelakaan di Rodok, mat! Cepat kau ikut aku!” ucap orang itu dengan tergesa-gesa. Aku tak melihat wajahnya, gelap.
“Wahyu! Cepat kau ikut juga, sini duduk dibelakangku!” teriak Amat padaku. Langsung kulepas sapuku. Kuberlari menghampiri Amat dan naik motor. Dengan sekejap kami melaju membelah angin. Aku menjadi sangat takut, orang ini melaju sangat kencang. Aku takut kalau kami juga akan mengalami kecelakaan. Aku sungguh takut mati. Maka kupejamkan mataku, sembari berharap kami selamat dan cepat sampai ke tujuan.
Sirene ambulan meraung-raung. Bulu kudukku seketika berdiri, membayangkan apa yang terjadi. Ambulan itu seperti melintasi kami. Kencang, meraung dan menjauh. Mulai kubuka mataku, di depanku sangat ramai, terlihat para anggota kepolisian menginvestigasi TKP. Police Line membentang mengelilingi Truk dan sebuah Motor Jupiter Z berwarna merah yang sudah tak berbentuk lagi. Sepertinya terjadi tabrakan yang sangat dahsyat. Tiba-tiba saja motor kami memutar mendadak, aku hampir saja jatuh. Kami kembali melaju kencang sempat kutoleh lagi ke belakang, sinar merah melambai-lambai, seperti mengucapkan selamat jalan, tapi tak kutahu ditujukan untuk siapa. Orang-orang tetap hiruk-pikuk sibuk dengan urusannya masing-masing.
Kupegang tangan Amat. Dingin. Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di hati sahabat karibku ini. Aku yakin ia sangat terpukul dengan kejadian ini. Perasaannya pun tentu sangat sedih. Semua orang pasti akan sedih ketika orang terdekatnya kecelakaan. Hanya orang yang tak punya hati yang tak bersedih. Tak terasa aku pun meneteskan air mata. kupeluk Amat dari belakang, aku ingin menguatkannya. Menjadi orang yang pertama kali menghiburnya.
Kami melayang, terbang membelah kota Ampah, kencang sekali. Tak kutahu ke manakah tujuan kami selanjutnya. Kami sampai di bundaran tengah kota dan kami melayang ke kiri. Sekarang kutahu kemana tujuan kami, Rumah sakit Ampah. Dengan sekejap kami berhenti tiba-tiba. Orang yang membawa kami langsung lari, Amat pun lari mengikutinya, dan sebagai teman yang setia dunia akhirat, aku juga ikut lari. Tepat di depan ruang Unit Gawat Darurat (UGD) orang itu berhenti. Sekarang aku mulai bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena lampu di rumah sakit sangat putih terang. Itu adalah kak Udin, saudara sepupu Amat yang tinggal di Rangen. Terlihat jelas wajah kak Udin pucat pasi, panik, khawatir. Aku duduk di kursi, menunduk dan berdoa untuk keselamatan orang tua Amat. Amat masih dingin, ia hanya diam—tak berkata-kata. Ia tersandar di dinding depan ruang UGD, di samping pintu. Aku yakin, ia sedang menunggu kabar dari dalam. Ia ingin menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Kutatap nanar wajah sahabatku itu, pias memutih, matanya menerawang menuju sebuah alam yang sungguh berbeda, tubuhnya beku—diam tak bergerak dan hatinya pun pasti sedang membeku.
Tepat di ujung lorong, jam dinding terus berputar. Angkuh, tak perduli apa yang terjadi dengan sekitarnya. Ia tetap berputar sekehendak hatinya. Kami tetap menunggu, menunggu sebuah kabar dari ruangan berada di depan kami. Semua bungkam, diam tanpa kata. Aku tetap menunduk, menahan rasa kantuk yang mulai menyerangku. Kadang kubuka mataku, dan kutoleh kesampingku, Amat sedang duduk tegang. Matanya tajam menghadap ke depan, tak sedikit pun berkedip. Ia mungkin sedang kebal dengan rasa kantuk namun tidak denganku. Maka segera kupejamkan lagi mataku, mencoba untuk tidur walau sekejap.
Ketika semuanya masih serba gelap, tiba-tiba terdengar suara rengekan pintu. Maka segera kubuka mataku. Terlihat seorang pemuda gagah yang memakai pakaian serba putih, memiliki wajah yang tampan. Aku yakin pasien wanita pasti akan lekas sembuh bila ditangani oleh dokter yang satu ini, tapi juga aku lebih yakin wanita itu akan mengulur-ulur waktu untuk pulang ke rumah walaupun penyakitnya sudah sembuh dua ratus persen. Namun, kali ini ia menampakkan wajah yang putus asa, sedih dan juga rasa bersalah. Sebuah tanda bahwa berita buruk segera akan kami terima. Amat segera menghampiri dokter itu. Aku juga mengikutinya di belakang.
“ma’afkan saya dik, saya sudah berusaha semampu saya. Namun sayang, kedua orang tua adik tak bisa tertolong, karena mengalami pendarahan yang sangat parah” ucap dokter itu dengan kepala tertunduk lesu. Ia sepertinya malu untuk menatap mata Amat, tak pantas sebenarnya ia menyalahkan dirinya sendiri. Melihat keringat yang masih tersisa di dahinya. Aku yakin ia telah berusaha sekuat tenaganya, demi menyelamatkan nyawa orang tua Amat. Namun Tuhan berkehendak lain, maka semua tak bisa berbuat apa-apa.
Setelah mendengar ucapan dari dokter itu. Amat segera lari, masuk untuk menemui kedua orang tuanya yang telah meninggalkan dunia yang fana ini. Aku juga ikut masuk. Dari depan pintu kulihat Amat sedang meneteskan airmata di depan mamanya. Berdiri tegak, tak bersuara. Air mata itu mengalir perlahan menembus pipinya dan jatuh ke lantai. Aku pun berhenti, tak melanjutkan langkahku. Aku tak tega melihat sahabatku menangis. Airmataku pun ikut menetes, kulanjutkan jalanku. Kudekati Amat dan kupeluk bahunya. Kugoyang-goyang tubuhnya. Aku ingin menguatkannya. Kemudian ia berpaling, menghadap abahnya. Tetap diam, airmatanya terus mengalir.
###
Matahari gelap, namun tak turun hujan, angin pun tak ada. Orang-orang lewat di depanku, namun hatiku tetap sepi. Aku masih sedih, merasakan apa yang Amat rasakan sekarang. Tentu ia sangat terpukul, ia harus menanggung kehilangan orang tuanya dalam umur 11 tahun. Ketika ia baru duduk di kelas 5 SD. Sungguh aku sangat iba kepadanya.
Ketika aku masih terbuai dalam lamunanku, tiba-tiba ada tangan yang menarik tanganku. Aku langsung sadar, ternyata Amat telah berdiri di hadapanku. Aku heran, ia memakai baju bola, di tangan kirinya dibawanya sarung tangan kipper dan bola dijepitnya dipinggang. Kulihat kakinya, ternyata ia juga telah memakai sepatu. Yang membuatku jadi tambah heran, sebuah senyum mengambang dari wajahnya.
“ayo kita latihan bola di lapangan!” ajaknya, aku masih mematung. Namun tanpa banyak kata, aku pun langsung masuk ke dalam rumah untuk ganti baju dan memakai sepatu. Kami langsung berjalan menuju lapangan bola. Sempat kutoleh kebelakang. Orang-orang semakin ramai saja berdatangan untuk melayat. Di depan rumahku, abahku sedang sibuk menggergaji papan, yang lain ada yang sibuk mengukur dan memaku, mereka sedang membuat peti mati untuk orang tua Amat.
###
Aku menatap tajam bola di hadapanku. Ku ambil momentum untuk mengambil tendangan sekeras-kerasnya. Aku sangat membenci senyum sinis yang sedang mengambang di hadapanku. Ini adalah pertarungan harga diriku, ia telah mencabik-cabiknya. Maka akan kubalas dengan segala kemampuanku. Kutatap juga matanya, namun ia hanya membalasku dengan santai. Segera ku tendang bolaku dengan sisi luar kaki kananku. Bola itu pun melesat menuju sudut kanan gawangnya, namun ditengah-tengah tiba-tiba membelok ke sudut kiri gawangnya. Ia sempat terkecoh, namun ia segera mengambil ancang-ancang untuk berbalik terbang, di tepisnya bolaku, dan melayang keluar. Sepertinya aku tidak akan bisa menembus gawangnya, kami telah melakukannya sejam lebih namun tak satu pun bolaku masuk. Maka aku sudah lelah, aku pun duduk. Kuhirup udara sekuat-kuatnya, sangat segar.
“oy, segitu aja kok nyerah” teriaknya.”kau sangat payah” tambahnya lagi. Aku hanya diam, sungguh aku sudah tak sanggup lagi, Amat tetap dengan senyumnya. Ia berjalan menghampiriku dan langsung duduk di sebelahku.
“mengapa kau sangat semangat hari ini? Padahal baru saja orang tua kau meninggal, bahkan hari ini kau tak ikut mengubur mereka. Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?” tanyaku. Mataku hanya memandang ke langit.
“aku hanya tak ingin larut dalam kesedihan, maka kutinggalkan mereka. Mungkin ini sedikit tak beradap. Namun bagiku, ini jalan satu-satunya bagiku” ucapnya. Aku sangat kagum kepada sahabatku yang satu ini. Ia memiliki jiwa yang sangat kuat.
“abahku sewaktu kecil memiiki impian ingin lagu ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan untuk dirinya. Namun sayang, keadaan tak mendukungnya untuk mencapai itu. Maka ditanamkannya impian itu dalam diriku. Aku ingin menjadi pemain timnas Indonesia, ingin menjadi tembok kokoh untuk menghalau serangan-serangan dari musuh. Aku ingin menggantikan Ferry Rutinsulu suatu saat nanti. Aku ingin mengharumkan nama bangsa kita lewat sepakbola. Aku ingin mengibarkan merah putih berkibar gagah setinggi-tingginya. Aku yakin Abahku akan sangat bahagia di alam sana, ketika melihatku membela Negara. Dan akan kupersembahkan lagu ‘Indonesia raya’ untuknya”lajutnya.
“aku sadar, tak akan mudah untuk mencapai itu semua. Tak ada waktu untuk berlarut-larut dalam kesedihan. Maka aku akan terus latihan dan latihan. Tak perduli apa pun yang menghadang” ia menghentikan ucapannya. Di tatapnya langit di ujung sana.
“penghubung kita dan impian adalah keberanian untuk bertindak dan percaya kepada impian kita sendiri” ucapnya lagi. “Itulah yang sedang kulakukan sekarang” tambahnya. Aku hanya bisa berdoa dalam hatiku, mendoakan supaya Amat bisa menggapai impiannya. Ku tatap juga langit, terlukis sebuah pelangi yang sangat indah. Malaikat sedang turun untuk menjemput impian Amat, untuk membawanya kehadirat Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar