Senin, 24 Oktober 2011

Sisa ‘Orde Baru’ di Kampungku

Karya: Wahyu Sp.
“praakk” terdengar suara ranting yang patah di belakangku, segera aku menoleh, namun tak ada siapa-siapa, hanya membentang jalan setapak meliuk-liuk, yang disisinya berumpun-rumpun batang buluh dan barisan pohon karet. Tiba-tiba saja aku merinding, angin dingin merayapi tubuhku, seperti ada makhluk halus yang lewat di belakangku. Aku menjadi sangat takut. Kulanjutkan jalanku, kudengar suara langkah mengikuti dari belakang. Segera kutoleh, namun masih tak ada siapa-siapa. Aku mempercepat langkahku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini, maka aku ingin segera keluar dari hutan ini.
Ketika langkahku mulai kuperlambat kembali, sesudah merasa tak apa-apa. “bbuuukk” tiba-tiba ada yang memukulku dari belakang. ketika menoleh, “buukk” langsung perutku yang ditinju. Aku langsung roboh menahan sakit, kudekap perutku dengan tangan. Tanpa memberi ampun, kembali kerah bajuku ditarik untuk menyuruhku berdiri kembali. Aku masih meringis kesakitan, namun kupaksakan untuk berdiri. Langsung kedua tanganku ditahan dibelakang, supaya aku tak bisa melawan. Kubuka mataku lebar-lebar, kembali leher bajuku ditarik. Mulai aku mengenali siapa yang telah memukulku, ternyata Parmin yang menarik leherku dan Boy yang menahan tanganku di belakang. Mereka adalah preman di kampungku.
“Oi, apa-apaan nih buhan ikam?” ucapku refleks. Aku mencoba untuk berontak, namun tak bisa. Boy sangat kuat menahanku. “Parmin, apa salahku sampai buhan ikam mamukuli aku kaya ini?” lanjutku lagi. “bukkk” kembali perutku menjadi sasaran tinju. Aku hanya bisa meringis, dan tak bisa berbuat apa-apa. Kubungkukkan tubuhku untuk menahan perih di perut.
“ikam sudah manyupanakan Pa camat di hadapan masyarakat, jadi ikam harus manarima balasannya” cerocos Boy dari belakang, padahal aku mengajukan pertanyaan untuk Parmin. “manyupanakan Pa camat?” gerutu hatiku, aku langsung teringat apa yang telah kulakukan pagi kemaren.
“kaina, ikam jangan lagi malawan Pa camat! Lamun handak hidup, dangari pandirku! jangan coba-coba ikam malapor ka polisi, jangan salahkan kami bila kami langsung mambunuh ikam” sambung Parmin.
“sumalam tu aku mambela yang bujur, kanapa maka jadi dipukuli kaya ini. Salahkah aku, bila aku barusaha untuk mancari keadilan?” jawabku sambil meringis kesakitan, aku mencoba untuk membela diri.
“Diam! Kada usah malawan!” hardik Boy dari belakangku. Suaranya menyengat telingaku, membuat nyaliku semakin menciut. Dipelintirnya tanganku dari belakang.
“aw, aw. Ampun Boy! Sakit!” ringisku, sambil berharap Boy untuk melepas tanganku.
“memang ikam kada salah, hanya ucapan dan cara ikam yang salah. Coba ikam badiam haja, kada usah umpat campur urusan urang. Sabujurnya kami kada handak jua manyakiti ikam” jawab Parmin dengan santai, sambil menarik leher bajuku lebih kuat sehingga membuatku sulit bernafas. Aku hanya diam, tak berani untuk berucap, tinju akan jadi balasan bila aku salah bicara.
“kami harap, ikam kaina bisa labih manjaga pamandiran. Jangan sampai manyupanakan Pa camat lagi. Urus, urusan ikam saurang haja, jangan umpat campur urusan urang” sambung Parmin lagi, tangannya masih tak lepas dari leher bajuku. Aku hanya bisa manggut-manggut saja, dan dengan segera mereka melepaskan aku. Langsung kumenghela nafas. Namun, ketika akan meninggalkanku, Boy masih sempat menyodorkan telunjuknya ke arahku, lalu dengan lototan mata yang tajam diarahkannya telunjuknya memenggal lehernya, mengisyaratkan bahwa aku akan mereka musnahkan andaikan aku mengulanginya.
Aku duduk bersandarkan pohon karet, sambil meringis kesakitan aku mencoba untuk berdiri sambil berpegangan dengan batang karet, namun tak bisa. Badanku terasa remuk redam, kuputuskan untuk istirahat di sini sejenak. Kududuk di atas akar, nyamuk berterbangan untuk menghinggapi tanganku, dengan sisa-sisa kekuatanku kupencet tubuhnya hingga remuk. Dengan nafas yang tak teratur kucoba untuk menenangkan diri. Membentang cercahan cahaya yang masuk dari celah dedaunan yang rimbun. Kuhirup udara segar sedalam-dalamnya, berharap oksigen yang banyak akan bisa mengurangi rasa sakitku. Kupejamkan mataku, menenangkan jiwa yang sedang panik. Mencoba mendengarkan suara alam, dari kejauahan kudengar suara monyet yang sedang bersahutan, mungkin mereka sedang berebut makanan. Memang mereka adalah makhluk yang serakah. Tepat dari atasku kudengarkan suara burung, mendayu-dayu merdu bersahutan dengan suara belalang. Hatiku mulai merasa tenang, berusaha untuk melupakan kejadian hari ini, walau perih di perut masih terasa. Paling tidak hari ini aku mendapat pelajaran untuk lebih bijak dalam menggunakan lidahku.
###
Aku duduk di halaman rumahku, berayun dibawah pohon rambutan yang rindang, menikmati udara segar di pagi hari. Dari ujung jalan, kulihat Paman Pentol membunyikan terompetnya sambil mengayuh sepeda, tentunya dengan bunyi yang khas, berharap orang-orang keluar rumah dan membeli pentolnya. Di seberang rumahku, Iki menangis minta ibunya untuk membelikan pentol, tak berapa lama ibunya keluar, dengan memakai baju daster yang bawahannya disingkap hingga lutut, sepertinya ibu Iki tadi sedang mencuci. Memang enak menjadi anak-anak, apa lagi masih berumur tiga tahun seperti Iki, ingin makan pentol cukup dengan rengekan dan tangisan, maka dijamin tanpa bim salabim, pentol akan siap saji di hadapan dalam waktu kurang dari dua menit.
Hari ini aku akan mengikuti acara sosialisasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap 2 yang akan dilaksanakan pertengahan bulan ini, yang diadakan di Aula Kantor Kecamatan Banua Lawas. Kulirik jam tanganku, sudah menunjukkan jam 9 kurang 15 menit. Aku segera masuk kerumah untuk bersiap-siap, kupakai batik terbaikku. Setelah memastikan bahwa aku sudah rapi, aku berjalan keluar. Ternyata Heri, teman akrabku juga sedang berjalan menuju kantor Kecamatan. Dengan setengah berlari segera kuhampiri Heri. Kami pergi cukup dengan berjalan kaki, karena jarak dari rumahku ke kantor Kecamatan hanya 100 meter.
Matahari mulai merangkak ke atas, memanjat dinding langit. Sinarnya mulai menyengat tubuhku. Segerombolan Kopasus itik sedang berbaris rapi di tepi jalan, dengan dikomandoi seekor di depan, mereka bersiap untuk menyerbu kolam yang berada tepat di depan pagar kantor Kecamatan. Dalam hal kekompakan, bisa diakui itik adalah binatang yang sangat kompak, mereka selalu terlihat berbaris memanjang dengan satu komando, namun ketika dapat makanan maka sikap egoismenya akan muncul, mereka tak akan mau untuk berbagi kepada temannya, maka tak dapat dihindari lagi, mereka akan saling berebut. Memang binatang selalu serakah. Itu hal yang wajar karena mereka hanya dilengkapi oleh hawa nafsu dan tak dengan akal.
Ku terus berjalan untuk memasuki aula. Namun terjadi ironi, ternyata ruangannya masih berantakan dan belum siap untuk mengadakan rapat. Aku menjadi bingung, padahal warga sudah banyak yang datang dan jam pun sudah menunjukkan jam 9. Seharusnya sekarang rapat sudah dimulai. Sebenarnya apa yang dilakukan para pegawai kecamatan? Sungguh memalukan. Jam karet memang sudah menjadi penyakit kronis yang telah menggrogoti aparatur Negara. Hal yang menjadi contoh buruk untuk masyarakat umum. Aku duduk di teras kantor, terlihat para pegawai baru mulai menyiapkan ruangan dan merapikan kursi. Warga yang lain sedang sibuk membicarakan perkembangan kasus teroris yang sedang hangat di tv. Aku hanya diam, mengamati tulisan-tulisan yang tergantung di dinding. Di hadapanku tertulis Misi kantor kecamatan, yaitu “meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat”. Aku berharap, semoga misi itu benar-benar berjalan, amin.
Ketika kulirik jam tanganku, ternyata sudah hampir jam setengah 10. Berarti sudah hampir setengah jam jadwal rapat molor. Tak berselang, kami dipersilahkan masuk ke dalam aula dan rapat pun segera dimulai. Pak camat berdiri di depan untuk memimpin rapat dan berpidato panjang lebar. Aku menemukan kejanggalan ketika melihat daftar penerima BLT, di sana tak tercantum nama Nenek Aisyah yang tinggal di dalam hutan Bungin. Padahal beliau harus menerima bantuan ini. Dan yang makin aneh, banyak nama-nama penerima BLT yang justru orang mampu, bahkan ada yang punya tiga buah sepeda motor. Ironinya nama-nama itu dikenal dekat dengan pak camat. Aku menjadi curiga, bahwa telah terjadi kongkalikong di sini. Aku pun berusaha mencari kejelasan.
“pak, saya menemukan kejanggalan pada daftar ini” ucapku.” Mengapa nama nenek Aisyah tak tercantum di sini pak? Padahal beliau sangat miskin dan sekarang hanya hidup sebatang kara” lanjutku lagi.
“nenek Aisyah tidak masuk daftar penerima karena tidak mempunyai surat yang lengkap seperti KTP dan kartu keluarga, sehingga beliau tidak bisa menerima BLT ini” jawab Pak camat ringkas. Aku mengerutkan keningku, peraturan yang aneh.
“apakah tidak ada pengecualian? Seharusnya bapak bisa lebih bijak, dan mempertimbangkan kelayakan nenek Aisyah” balasku.” Apakah bapak tidak kasian kepada beliau? Beliau sudah hampir 3 tahun ditinggal mati suaminya. Sekarang beliau hanya tinggal sendiri karena tak punya anak”
“menurut peraturan sudah seperti itu, jadi saya tak bisa berbuat apa-apa. Peraturan tetaplah peraturan !” Kilah Pak camat. Aku menjadi semakin geram dengan sikap pak camat yang kelihatannya sangat tidak respek.
“saya mohon, bapak mempertimbangkan sekali lagi. Agar nenek Aisyah bisa menerima BLT ini”ucapku. aku berusaha untuk menahan emosiku
“tetap tidak bisa! Keputusan saya sudah final” timpal pak camat lagi. Kesabaranku pun habis, maka perdebatan ini akan menjadi semakin sengit.
“bapak memang tidak punya hati nurani” balasku. “namun apakah bapak bisa menjelaskan. Mengapa pak Adul dan pak Amat masuk daftar penerima BLT. Padahal mereka tergolong orang yang mampu. Apakah karena mereka dekat dengan bapak?” timpalku lagi. Pak camat tak dapat menjawab pertanyaanku, ia hanya diam. Mungkin sedang mati kutu karena kebusukannya telah kubongkar.
“kenapa bapak diam?” ucapku sengit. “tak bisa menjawab kan? Bapak memang tak adil. Hanya mementingkan kelompok sendiri”
“dangsanak sabarataan! Hakunlah buhan pian dipimpin oleh pamimpin nang kaya ini? Nang harat mamanfaatkan jabatannya sakahandak hati. Kada suah mamikirkan kahidupan warga nang kada mampu. Pamimpin kaya ini lah nang kita kahandaki, dangsanak?” seruku pada seluruh peserta rapat. Wajah pak camat memerah, kelihatan sekali dia sangat marah dengan pernyataanku.
“dengan penuh rasa hormat, saya harap Bapak mundur dari kursi camat Banua Lawas. Saya kira Bapak sudah gagal untuk mengurus masyarakat di daerah ini” timpalku. “bujur kada, dangsanak?” seruku lagi pada sesama warga.
“bujur!” seru hadirin diseluruh ruangan, mungkin mereka sebenarnya sudah lama geram dengan pak camat, hanya mereka masih tak berani sehingga tak ada suara perlawanan yang keluar dari mereka. Karena aku telah memulainya, maka mereka akan mendukungku. Tepuk tangan pun bergemuruh untuk mendukungku. Aku pun segera keluar, karena tidak ada gunanya untuk tetap di sini. Pak camat tetap dengan pendapatnya. Sikapku diikuti oleh semua warga yang hadir. Dengan kepala tegak aku meningggalkan aula kantor kecamatan, dengan diikuti oleh warga yang lain. Maka dapat kuartikan aku pulang dengan membawa bendera kemenangan.
Aku sangat merasa puas, karena sudah bisa membantu menegakkan keadilan di masyarakat. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk mengkritisi pemerintah, agar sistem pemerintahan lebih efektif dan keputusan-keputusannya berpihak kepada masyarakat kecil. Namun celakanya, Pak camat tak terima dengan perlakuanku. Aku telah merenggut kehormatannya, dan mencabik-cabik harga dirinya dengan cakar lidahku yang tajam. Ia sudah mencap namaku sebagai target untuk balas dendam. Namaku akan selalu terpajang sebagai nama musuh yang secepatnya dimusnahkan. Akibatnya fatal, Aku terus diteror oleh preman. Keamananku pun terancam. Seperti yang terjadi pada sore ini. Aku dihajar oleh Parmin dan Boy.
###
Kutumpukan tanganku pada pohon karet. Sepertinya tenagaku mulai pulih. Dengan tertatih-tatih aku berjalan menyusuri hutan untuk pulang ke rumah. Perutku masih terasa perih, belakangku pun masih terasa sakit akibat dipukul oleh Boy tadi. Kuayunkan langkahku dengan perlahan, untungnya mereka tidak memukul kakiku sehingga aku masih bisa berjalan dengan baik. Rona warna merah mulai membauri langit. Matahari mulai merangkak turun untuk menjemput sang rembulan yang sedang tertidur. Suara burung semakai ramai bersahutan. Akhirnya aku sampai di rumah, aku langsung duduk diteras rumahku untuk merenungi apa yang telah terjadi kepadaku. Ternyata sangat sulit untuk membela kebenaran, apalagi untuk melawan pemerintah, banyak halangan yang akan menghadang. Banyaknya terjadi kongkalikong dalam tubuh pemerintahan, membuat kritikan dari luar akan selalu mereka lawan. Mungkin seperti ini yang terjadi pada para pejuang keadilan di masa orde baru, mereka akan segera diancam apabila mengkritiki pemerintah. Era reformasi dan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat dan mengkritik kinerja pemerintah, ternyata tak menjamin untuk kebebasan dalam menyuarakan suara rakyat. Namun tak bisa dipungkiri usia reformasi yang masih muda membuat masih adanya sisa-sisa orde baru. Aku juga bisa belajar agar lebih beradap dalam mengkritik, kritikan yang pedas tentunya tak akan membuat suasana menjadi lebih baik, justru akan memperkeruh masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar