Senin, 31 Oktober 2011

Salah Mencinta

Karya: Norhadijah
Ragina memasang wajah cemberut sepanjang perjalanan menuju pesantren Darussalam. Matanya yang bulat kecoklatan menatap tajam ke jalan licin dan becek yang ia lewati. Sambil mengemudikan motornya, ia terus mengomel dan menggerutu karena ini adalah kali ketiga ia harus bolak balik ke pesantren itu hanya untuk mengambil bukunya, yang tak kunjung dikembalikan oleh sepupunya Syifa, yang bersekolah di pesantren itu.
Tiba-tiba Ragina terjatuh terjerambab ke tanah yang becek, motor yang dikendarainya oleng dan tergelincir. Spontan orang-orang yang ada di dekat kejadian ke arahnya. Entah apa yang sedang dipikirkan mereka ketika melihat Gina yang berusaha untuk bangun. Ia juga berusaha membangunkan motornya. Namun, tenaganya habis terkuras karena malu dan grogi. Melihat Gina yang kesulitan, seorang pria tinggi dan muda pun menghampiri dan membantunya membangunkan motornya.
“Ya udah! Santai aja” katanya ramah kepada Gina sambil tersenyum. Gina hanya bisa membalas dengan senyum malu-malu. “Kamu gak apa-apa kan?” tanyanya lagi. Gina hanya mengangguk.
“Terima kasih ya! Udah bantuin” ucap Gina sambil membersihkan bajunya yang kotor.
“Ya, sama-sama” balasnya. Kemudian gina pun berpamitan dan melanjutkan perjalanannya. Pemuda itu menatapi kepergian Gina sambil terus tersenyum.
###
“Kamu habis ngapain Gin? Kok baju sama kerudung kamu pada kotor sih?” tanya ibu Gina yang heran melihat Gina yang baru pulang.
“iya bu, tadi Gina jatuh dari motor, pas mau ke pesantren. Ih, malunya Gina bu, banyak orang di sana” jelasnya sabil mencium tangan ibunya.
“Makanya kalau bawa motor harus hati-hati” kata ibu Gina menasehati.
“Iya bu! Ya udah, Gina mau mandi dulu ya” katanya ingin berlalu pergi.
“oh ya, nanti kamu pergi kan? Maulidan di mesjid Nurul Khair desa sebelah?” Tanya ibunya lagi menghentikan langkah Gina.
“iya bu” jawabnya sambil mengangguk mantap, kemudian ia berlalu lagi masuk ke kamarnya.
Ragina sibuk merias wajahnya, juga sibuk membongkar dan mencari-cari kerudung apa yang akan ia gunakan. Setelah semuanya dicoba, akhirnya ia menetapkan pilihan pada kerudung berwarna favoritnya, yaitu biru. Kemudian ia langsung pergi ke tempat tujuan. Ketika ia sampai, acara baru saja dimulai, bait perbait lagu syair berirama nasyid mengalun syahdu dan menyatu dengan tabuhan tarbang oleh mereka yang membawakannya, karena penasaran ingin tahu siapa gerangan pemilik suara. Ia berusaha maju untuk duduk di depan. Betapa terkejutnya Gina, ketika melihat orang yang membawakan syair tersebut.
“lho, itu kan pemuda yang tadi siang!” ucapnya sendiri.
###
Tet. . . tet. . . tet. . .
Bel berdering panjang, pertanda berakhirnya pelajaran. Siswa-siswi MA Ampah menyambutnya dengan suka cita. Mereka keluar saling mendahului. Berbondong-bondong seperti tawon keluar dari sarangnya.
Ragina memacu motornya dengan santai. Lila yang duduk di boncengannya heran melihat tingkah yang seharian ini dirasanya aneh.
“Kamu kenapa Gin? Aku perhatikan kamu ngelamun aja?” ucap Lila dari belakang. Akhirnya lila buka suara.
“Ga ada apa-apa kok” jawab Gina singkat.
“Udah deh, gak usah bohong. Aku tahu kamu lagi mikirin sesuatu. Apa kamu gak mau cerita? Siapa tahu aku bisa bantu” Balas Lila.
“hmm. . . gimana ya?” Gina berfikir sejenak. ”Nanti aja deh kapan-kapan” jawab Gina lagi. Lila yang mendengar jawaban seperti itu. Merasa sedikit tidak dihargai sebagai teman. Tetapi ia juga tak mau memaksa. Mereka akhirnya berhenti di sebuah rumah yang cukup besar dengan cat warna putih.
“mau mampir dulu Gin?” Tanya Lila setelah turun dari motor Gina. Gina menggelengkan kepala tanda ia ingin melanjutkan perjalanan.
“Eit. . . tunggu!” teriak Lila, sesaat setelah Gina ingin memacu motornya. Gina pun ngerem mendadak.
“Ada apa lagi sih?” Tanya Gina cemberut.
“titip salam buat kakak kamu ya!” ucap Lila malu-malu sambil senyum cengengesan.
`”Iya!” Jawab Gina acuh. Langsung dikebutnya motornya. Jilbabnya melayang-layang diterpa angin kencang.
###
“Assalamu’alaikum” ucap Gina kekita sesampainya di rumah. Gina pun langsung masuk. “Lho, kakak ini kan?” ucap Gina terkejut ketika melihat ada seseorang di ruang tamunya.
“Kamu udah pulang ya Gin?” tiba-tiba ibu Gina datang memecah kebisuan dengan membawa sebuah nampan berisi minuman dan makanan ringan. Langsung diciumnya tangan ibunya sesaat setelah ibunya meletakkan nampan di atas meja.
“oh iya, kenalkan ini hafiz. Anak teman ibu yang di Pangkan. Dia ini juga teman kakak kamu” ucap Ibu Gina lagi, memperkenalkan orang yang sedang duduk di kursi. “ya udah, ibu mau ke belakang dulu. Kamu temani hafiz ya!” tambah ibunya. Gina hanya mengangguk. Padahal ia sedang sangat grogi sekarang. Walau begitu, sebagai tuan rumah yang baik, terpaksa ia memulai pembicaraan.
“oh, jadi kamu temannya kak Akbar ya?” ucap Gina terbata. “ eh, makasih ya, udah bantuin aku waktu itu” tambah Gina lagi.
“Iya, sama-sama. Biasa aja kok” balas Hafiz sambil mengembangkan senyuman. Mereka pun akhirnya larut dalam percakapan yang lama.
###
Mendengar cerita dari ibunya kalau Hafiz sering bertandang ke rumah dan ngobrol dengan Ragina, Akbar menjadi takut kalau-kalau Gina jatuh cinta pada Hafiz, sementara Hafiz sudah memiliki pujaan hatinya sendiri. Apalagi Gina sering bertanya perihal Hafiz. Akbar menjadi bingung, apa yang harus ia lakukan.
“Kamu lagi mikirin apa Gin?” Tanya akbar pada Gina yang terkejut dan bangun dalam ketermenungan.
“eh, kakak!” balas Gina sambil nyengir. Akbar pun menatap nanar mata adiknya, berusaha menerawang apa yang ada dalam pikiran Gina.
“Kakak tau? Sekarang aku benar-benar jatuh cinta dengan Hafiz” ucap Gina. Miris hati Akbar mendengarnya.
“Bukannya kakak tak suka. Tapi kamu harsu kubur perasaan kamu dalam-dalam perasaan kamu itu. Lagian belum tentu juga kan dia suka sama kamu. Entar sakit hati lagi” jawab Akbar sambil menasehati.
“Kakak kok ngomong seperti itu sih, harusnya kakak mendukung aku. Dan bantuin akau supaya Hafiz mau menjadi pacarku” Balas Gina kesal. Sambil berlalu masuk ke dalam kamar, akbar berdiri termangu.
###
Ragina tak mengerti mengapa kakaknya bisa berkata begitu. Tetapi ia juga lebih tak mengerti lagi pada dirinya sendiri, sudah lama kenal dengan Hafiz, namun nomor Hpnya gak punya. Tak berselang, senyum manis mengembang di wajahnya, teringat dengan kakaknya. Dengan perlahan sambil mengendap-ngendap menuju kamar Akbar, dibukanya kamar Akbar. “klek” pintu kamar terbuka. “yes, aman” ucapnya dalam hati ketika melihat di dalam tak berpenghuni. Ia pun masuk dan mulai melancarkan aksinya. Matanya mengitari seluruh sudut kamar Akbar dan kemudian terhenti di sebuah meja belajar. Mendapati hp Akbar tergeletak di sampan sebuak foto. Dengan cepat diraihnya hp kakaknya untuk mencari nama Hafiz dan menyalinnya pada hpnya.
###
Hafiz duduk termenung memikirkan kata-kata yang diucapkan Akbar. Ia heran, mengapa Akbar melarangnya bertemu dengan Gina. Dan apa maksudnya Gina memiliki perasaan yang berbeda terhadapnya. Hafiz pusing memikirkannya.
Hafiz terkejut dan terbangun dari lamunannya. Dirasanya Hpnya bergetar. Keningnya mengerut ketika melihat nomornya masih asing baginya.
“hallo, ini siapa ya?” ucapnya.
“Kak, ini Gina. Kakak di mana sekarang. Aku ingin bertemu kakak sekarang” jawab Gina tergesa-gesa.
“Aku lagi di pesantren Darussalam”
“ya udah, tunggu di sana ya. Aku mau ngomong sesuatu” Cerocos Gina.
“tapi. .” ucapan Hafis terhenti. Gina sudah memutus telponnya. Tak lama kemudian, Gina pun tiba di hadapan Hafiz.
“ada apa Gin? Kayaknya ada sesuatu yang penting sekali” Tanya hafiz. Namun tak sempat Gina membuaka mulut, terdengar suara memanggil namanya dan Hafiz. Dari kejauhan terlihat seorang gadis cantik berjilbab lari mendekatinya.
“Syifa. . .!” panggil Gina.
“kamu lagi ngapain di sini Gina? Kalian berdua sudah saling kenal ya?” Tanya Syifa heran.
“kamu juga sudah kenal ya dengan Hafiz?” giliran Gina yang balik bertanya.
“Ya iya lah, kami kan satu kampung. Dan hafiz adalah pacarku, iya kan fiz?” jelas Syifa. Hafiz hanya mengangguk. Penjelasan syifa sangat membuat hati Gina miris dan hancur berkeping-keping. Seperti sebuah kaca yang jatuh ke lantai keramik, pecah menjadi beling-beling kecil. Sakit, bagaikan beribu jarum menancap di ulu hati.
Masih diingatnya disaat teman-teman curhat perihal patah hati dan ia selalu berkata, “sabar saja!” tetapi kini baru dirasanya kata “sabar” tidak mampu menyembuhkan hati yang terluka.
Pupus sudah kini harapannya untuk bisa bersama orang yang dicintainya. Seandainya saja dulu ia mendengarkan apa kata kakaknya, pasti kejadian ini tak akan terjadi. Selum siap rasanya Gina menerima kenyataan yang memilukan ini. Sambil berusaha menahan air matanya yang sudah siap mengalir dari pelupuk mata.
“maaf ya! Aku mau pulang dulu” ucap Gina pelan.
“lho, bukannya ada yang mau kamu omongin Gina? Kok mendadak ingin pulang?” Tanya Hafiz heran.
“iya nih!” sambung Syifa.
“aku lupa, kalau aku sekarang ada janji dengan temanku. Ya udah, syifa, Hafiz, aku duluan ya?” ucap Gina berlalu dari hadapan Syifa dan Hafiz dengan setengah berlari mendekati motornya.
Gina memacu motornya dengan sangat cepat. Bulir-bulir air mata yang sedari tadi sudah bertengger di pelupuk mata kini mulai berjatuhan. Kini mengalir membasahi pipi dan jilbab yang digunakannya. Ingin sekali rasanya ia berteriak sekeras-kerasnya. Untuk memberitahukan kepada dunia akan hatinya yang hancur tak terperikan. Namun apa daya energinya telah habis dan mulutnya serasa kaku. Maka ia hanya bsia memberitahukan lewat air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Inilah akibat dari salah mencintai. Mencintai pacar dari sepupunya sendiri.

Senin, 24 Oktober 2011

pengemis

Karya: Deby
"beri hamba sedekah, O Tuhan
belum makan dari pagi
tolonglah patik, wahai Tuhan
seteguk air, sesuap nasi"

"lihatlah tuan nasib,
kami tiada sanak, tiada saudara
pakaian di badan tak terbeli
sepanjang jalan meminta-minta"

"lihatlah tuan untung kami,
pondok tiada huma tiada
bermandi hujan, berpanas hari
di tengah jalan terlunta-lunta"

"bukan salah bunda mengandung
buruk suratan tangan sendiri
sudah nasib, sudah untung hidup
malang dari hari ke hari"

"O, Tuhan
jangan kami dicibirkan
jika sedekah tidak diberi
cukup sudah sengsara badan
jangan lagi ditusuk hati"

Sisa ‘Orde Baru’ di Kampungku

Karya: Wahyu Sp.
“praakk” terdengar suara ranting yang patah di belakangku, segera aku menoleh, namun tak ada siapa-siapa, hanya membentang jalan setapak meliuk-liuk, yang disisinya berumpun-rumpun batang buluh dan barisan pohon karet. Tiba-tiba saja aku merinding, angin dingin merayapi tubuhku, seperti ada makhluk halus yang lewat di belakangku. Aku menjadi sangat takut. Kulanjutkan jalanku, kudengar suara langkah mengikuti dari belakang. Segera kutoleh, namun masih tak ada siapa-siapa. Aku mempercepat langkahku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini, maka aku ingin segera keluar dari hutan ini.
Ketika langkahku mulai kuperlambat kembali, sesudah merasa tak apa-apa. “bbuuukk” tiba-tiba ada yang memukulku dari belakang. ketika menoleh, “buukk” langsung perutku yang ditinju. Aku langsung roboh menahan sakit, kudekap perutku dengan tangan. Tanpa memberi ampun, kembali kerah bajuku ditarik untuk menyuruhku berdiri kembali. Aku masih meringis kesakitan, namun kupaksakan untuk berdiri. Langsung kedua tanganku ditahan dibelakang, supaya aku tak bisa melawan. Kubuka mataku lebar-lebar, kembali leher bajuku ditarik. Mulai aku mengenali siapa yang telah memukulku, ternyata Parmin yang menarik leherku dan Boy yang menahan tanganku di belakang. Mereka adalah preman di kampungku.
“Oi, apa-apaan nih buhan ikam?” ucapku refleks. Aku mencoba untuk berontak, namun tak bisa. Boy sangat kuat menahanku. “Parmin, apa salahku sampai buhan ikam mamukuli aku kaya ini?” lanjutku lagi. “bukkk” kembali perutku menjadi sasaran tinju. Aku hanya bisa meringis, dan tak bisa berbuat apa-apa. Kubungkukkan tubuhku untuk menahan perih di perut.
“ikam sudah manyupanakan Pa camat di hadapan masyarakat, jadi ikam harus manarima balasannya” cerocos Boy dari belakang, padahal aku mengajukan pertanyaan untuk Parmin. “manyupanakan Pa camat?” gerutu hatiku, aku langsung teringat apa yang telah kulakukan pagi kemaren.
“kaina, ikam jangan lagi malawan Pa camat! Lamun handak hidup, dangari pandirku! jangan coba-coba ikam malapor ka polisi, jangan salahkan kami bila kami langsung mambunuh ikam” sambung Parmin.
“sumalam tu aku mambela yang bujur, kanapa maka jadi dipukuli kaya ini. Salahkah aku, bila aku barusaha untuk mancari keadilan?” jawabku sambil meringis kesakitan, aku mencoba untuk membela diri.
“Diam! Kada usah malawan!” hardik Boy dari belakangku. Suaranya menyengat telingaku, membuat nyaliku semakin menciut. Dipelintirnya tanganku dari belakang.
“aw, aw. Ampun Boy! Sakit!” ringisku, sambil berharap Boy untuk melepas tanganku.
“memang ikam kada salah, hanya ucapan dan cara ikam yang salah. Coba ikam badiam haja, kada usah umpat campur urusan urang. Sabujurnya kami kada handak jua manyakiti ikam” jawab Parmin dengan santai, sambil menarik leher bajuku lebih kuat sehingga membuatku sulit bernafas. Aku hanya diam, tak berani untuk berucap, tinju akan jadi balasan bila aku salah bicara.
“kami harap, ikam kaina bisa labih manjaga pamandiran. Jangan sampai manyupanakan Pa camat lagi. Urus, urusan ikam saurang haja, jangan umpat campur urusan urang” sambung Parmin lagi, tangannya masih tak lepas dari leher bajuku. Aku hanya bisa manggut-manggut saja, dan dengan segera mereka melepaskan aku. Langsung kumenghela nafas. Namun, ketika akan meninggalkanku, Boy masih sempat menyodorkan telunjuknya ke arahku, lalu dengan lototan mata yang tajam diarahkannya telunjuknya memenggal lehernya, mengisyaratkan bahwa aku akan mereka musnahkan andaikan aku mengulanginya.
Aku duduk bersandarkan pohon karet, sambil meringis kesakitan aku mencoba untuk berdiri sambil berpegangan dengan batang karet, namun tak bisa. Badanku terasa remuk redam, kuputuskan untuk istirahat di sini sejenak. Kududuk di atas akar, nyamuk berterbangan untuk menghinggapi tanganku, dengan sisa-sisa kekuatanku kupencet tubuhnya hingga remuk. Dengan nafas yang tak teratur kucoba untuk menenangkan diri. Membentang cercahan cahaya yang masuk dari celah dedaunan yang rimbun. Kuhirup udara segar sedalam-dalamnya, berharap oksigen yang banyak akan bisa mengurangi rasa sakitku. Kupejamkan mataku, menenangkan jiwa yang sedang panik. Mencoba mendengarkan suara alam, dari kejauahan kudengar suara monyet yang sedang bersahutan, mungkin mereka sedang berebut makanan. Memang mereka adalah makhluk yang serakah. Tepat dari atasku kudengarkan suara burung, mendayu-dayu merdu bersahutan dengan suara belalang. Hatiku mulai merasa tenang, berusaha untuk melupakan kejadian hari ini, walau perih di perut masih terasa. Paling tidak hari ini aku mendapat pelajaran untuk lebih bijak dalam menggunakan lidahku.
###
Aku duduk di halaman rumahku, berayun dibawah pohon rambutan yang rindang, menikmati udara segar di pagi hari. Dari ujung jalan, kulihat Paman Pentol membunyikan terompetnya sambil mengayuh sepeda, tentunya dengan bunyi yang khas, berharap orang-orang keluar rumah dan membeli pentolnya. Di seberang rumahku, Iki menangis minta ibunya untuk membelikan pentol, tak berapa lama ibunya keluar, dengan memakai baju daster yang bawahannya disingkap hingga lutut, sepertinya ibu Iki tadi sedang mencuci. Memang enak menjadi anak-anak, apa lagi masih berumur tiga tahun seperti Iki, ingin makan pentol cukup dengan rengekan dan tangisan, maka dijamin tanpa bim salabim, pentol akan siap saji di hadapan dalam waktu kurang dari dua menit.
Hari ini aku akan mengikuti acara sosialisasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap 2 yang akan dilaksanakan pertengahan bulan ini, yang diadakan di Aula Kantor Kecamatan Banua Lawas. Kulirik jam tanganku, sudah menunjukkan jam 9 kurang 15 menit. Aku segera masuk kerumah untuk bersiap-siap, kupakai batik terbaikku. Setelah memastikan bahwa aku sudah rapi, aku berjalan keluar. Ternyata Heri, teman akrabku juga sedang berjalan menuju kantor Kecamatan. Dengan setengah berlari segera kuhampiri Heri. Kami pergi cukup dengan berjalan kaki, karena jarak dari rumahku ke kantor Kecamatan hanya 100 meter.
Matahari mulai merangkak ke atas, memanjat dinding langit. Sinarnya mulai menyengat tubuhku. Segerombolan Kopasus itik sedang berbaris rapi di tepi jalan, dengan dikomandoi seekor di depan, mereka bersiap untuk menyerbu kolam yang berada tepat di depan pagar kantor Kecamatan. Dalam hal kekompakan, bisa diakui itik adalah binatang yang sangat kompak, mereka selalu terlihat berbaris memanjang dengan satu komando, namun ketika dapat makanan maka sikap egoismenya akan muncul, mereka tak akan mau untuk berbagi kepada temannya, maka tak dapat dihindari lagi, mereka akan saling berebut. Memang binatang selalu serakah. Itu hal yang wajar karena mereka hanya dilengkapi oleh hawa nafsu dan tak dengan akal.
Ku terus berjalan untuk memasuki aula. Namun terjadi ironi, ternyata ruangannya masih berantakan dan belum siap untuk mengadakan rapat. Aku menjadi bingung, padahal warga sudah banyak yang datang dan jam pun sudah menunjukkan jam 9. Seharusnya sekarang rapat sudah dimulai. Sebenarnya apa yang dilakukan para pegawai kecamatan? Sungguh memalukan. Jam karet memang sudah menjadi penyakit kronis yang telah menggrogoti aparatur Negara. Hal yang menjadi contoh buruk untuk masyarakat umum. Aku duduk di teras kantor, terlihat para pegawai baru mulai menyiapkan ruangan dan merapikan kursi. Warga yang lain sedang sibuk membicarakan perkembangan kasus teroris yang sedang hangat di tv. Aku hanya diam, mengamati tulisan-tulisan yang tergantung di dinding. Di hadapanku tertulis Misi kantor kecamatan, yaitu “meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat”. Aku berharap, semoga misi itu benar-benar berjalan, amin.
Ketika kulirik jam tanganku, ternyata sudah hampir jam setengah 10. Berarti sudah hampir setengah jam jadwal rapat molor. Tak berselang, kami dipersilahkan masuk ke dalam aula dan rapat pun segera dimulai. Pak camat berdiri di depan untuk memimpin rapat dan berpidato panjang lebar. Aku menemukan kejanggalan ketika melihat daftar penerima BLT, di sana tak tercantum nama Nenek Aisyah yang tinggal di dalam hutan Bungin. Padahal beliau harus menerima bantuan ini. Dan yang makin aneh, banyak nama-nama penerima BLT yang justru orang mampu, bahkan ada yang punya tiga buah sepeda motor. Ironinya nama-nama itu dikenal dekat dengan pak camat. Aku menjadi curiga, bahwa telah terjadi kongkalikong di sini. Aku pun berusaha mencari kejelasan.
“pak, saya menemukan kejanggalan pada daftar ini” ucapku.” Mengapa nama nenek Aisyah tak tercantum di sini pak? Padahal beliau sangat miskin dan sekarang hanya hidup sebatang kara” lanjutku lagi.
“nenek Aisyah tidak masuk daftar penerima karena tidak mempunyai surat yang lengkap seperti KTP dan kartu keluarga, sehingga beliau tidak bisa menerima BLT ini” jawab Pak camat ringkas. Aku mengerutkan keningku, peraturan yang aneh.
“apakah tidak ada pengecualian? Seharusnya bapak bisa lebih bijak, dan mempertimbangkan kelayakan nenek Aisyah” balasku.” Apakah bapak tidak kasian kepada beliau? Beliau sudah hampir 3 tahun ditinggal mati suaminya. Sekarang beliau hanya tinggal sendiri karena tak punya anak”
“menurut peraturan sudah seperti itu, jadi saya tak bisa berbuat apa-apa. Peraturan tetaplah peraturan !” Kilah Pak camat. Aku menjadi semakin geram dengan sikap pak camat yang kelihatannya sangat tidak respek.
“saya mohon, bapak mempertimbangkan sekali lagi. Agar nenek Aisyah bisa menerima BLT ini”ucapku. aku berusaha untuk menahan emosiku
“tetap tidak bisa! Keputusan saya sudah final” timpal pak camat lagi. Kesabaranku pun habis, maka perdebatan ini akan menjadi semakin sengit.
“bapak memang tidak punya hati nurani” balasku. “namun apakah bapak bisa menjelaskan. Mengapa pak Adul dan pak Amat masuk daftar penerima BLT. Padahal mereka tergolong orang yang mampu. Apakah karena mereka dekat dengan bapak?” timpalku lagi. Pak camat tak dapat menjawab pertanyaanku, ia hanya diam. Mungkin sedang mati kutu karena kebusukannya telah kubongkar.
“kenapa bapak diam?” ucapku sengit. “tak bisa menjawab kan? Bapak memang tak adil. Hanya mementingkan kelompok sendiri”
“dangsanak sabarataan! Hakunlah buhan pian dipimpin oleh pamimpin nang kaya ini? Nang harat mamanfaatkan jabatannya sakahandak hati. Kada suah mamikirkan kahidupan warga nang kada mampu. Pamimpin kaya ini lah nang kita kahandaki, dangsanak?” seruku pada seluruh peserta rapat. Wajah pak camat memerah, kelihatan sekali dia sangat marah dengan pernyataanku.
“dengan penuh rasa hormat, saya harap Bapak mundur dari kursi camat Banua Lawas. Saya kira Bapak sudah gagal untuk mengurus masyarakat di daerah ini” timpalku. “bujur kada, dangsanak?” seruku lagi pada sesama warga.
“bujur!” seru hadirin diseluruh ruangan, mungkin mereka sebenarnya sudah lama geram dengan pak camat, hanya mereka masih tak berani sehingga tak ada suara perlawanan yang keluar dari mereka. Karena aku telah memulainya, maka mereka akan mendukungku. Tepuk tangan pun bergemuruh untuk mendukungku. Aku pun segera keluar, karena tidak ada gunanya untuk tetap di sini. Pak camat tetap dengan pendapatnya. Sikapku diikuti oleh semua warga yang hadir. Dengan kepala tegak aku meningggalkan aula kantor kecamatan, dengan diikuti oleh warga yang lain. Maka dapat kuartikan aku pulang dengan membawa bendera kemenangan.
Aku sangat merasa puas, karena sudah bisa membantu menegakkan keadilan di masyarakat. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk mengkritisi pemerintah, agar sistem pemerintahan lebih efektif dan keputusan-keputusannya berpihak kepada masyarakat kecil. Namun celakanya, Pak camat tak terima dengan perlakuanku. Aku telah merenggut kehormatannya, dan mencabik-cabik harga dirinya dengan cakar lidahku yang tajam. Ia sudah mencap namaku sebagai target untuk balas dendam. Namaku akan selalu terpajang sebagai nama musuh yang secepatnya dimusnahkan. Akibatnya fatal, Aku terus diteror oleh preman. Keamananku pun terancam. Seperti yang terjadi pada sore ini. Aku dihajar oleh Parmin dan Boy.
###
Kutumpukan tanganku pada pohon karet. Sepertinya tenagaku mulai pulih. Dengan tertatih-tatih aku berjalan menyusuri hutan untuk pulang ke rumah. Perutku masih terasa perih, belakangku pun masih terasa sakit akibat dipukul oleh Boy tadi. Kuayunkan langkahku dengan perlahan, untungnya mereka tidak memukul kakiku sehingga aku masih bisa berjalan dengan baik. Rona warna merah mulai membauri langit. Matahari mulai merangkak turun untuk menjemput sang rembulan yang sedang tertidur. Suara burung semakai ramai bersahutan. Akhirnya aku sampai di rumah, aku langsung duduk diteras rumahku untuk merenungi apa yang telah terjadi kepadaku. Ternyata sangat sulit untuk membela kebenaran, apalagi untuk melawan pemerintah, banyak halangan yang akan menghadang. Banyaknya terjadi kongkalikong dalam tubuh pemerintahan, membuat kritikan dari luar akan selalu mereka lawan. Mungkin seperti ini yang terjadi pada para pejuang keadilan di masa orde baru, mereka akan segera diancam apabila mengkritiki pemerintah. Era reformasi dan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat dan mengkritik kinerja pemerintah, ternyata tak menjamin untuk kebebasan dalam menyuarakan suara rakyat. Namun tak bisa dipungkiri usia reformasi yang masih muda membuat masih adanya sisa-sisa orde baru. Aku juga bisa belajar agar lebih beradap dalam mengkritik, kritikan yang pedas tentunya tak akan membuat suasana menjadi lebih baik, justru akan memperkeruh masalah.