Senin, 31 Oktober 2011

Salah Mencinta

Karya: Norhadijah
Ragina memasang wajah cemberut sepanjang perjalanan menuju pesantren Darussalam. Matanya yang bulat kecoklatan menatap tajam ke jalan licin dan becek yang ia lewati. Sambil mengemudikan motornya, ia terus mengomel dan menggerutu karena ini adalah kali ketiga ia harus bolak balik ke pesantren itu hanya untuk mengambil bukunya, yang tak kunjung dikembalikan oleh sepupunya Syifa, yang bersekolah di pesantren itu.
Tiba-tiba Ragina terjatuh terjerambab ke tanah yang becek, motor yang dikendarainya oleng dan tergelincir. Spontan orang-orang yang ada di dekat kejadian ke arahnya. Entah apa yang sedang dipikirkan mereka ketika melihat Gina yang berusaha untuk bangun. Ia juga berusaha membangunkan motornya. Namun, tenaganya habis terkuras karena malu dan grogi. Melihat Gina yang kesulitan, seorang pria tinggi dan muda pun menghampiri dan membantunya membangunkan motornya.
“Ya udah! Santai aja” katanya ramah kepada Gina sambil tersenyum. Gina hanya bisa membalas dengan senyum malu-malu. “Kamu gak apa-apa kan?” tanyanya lagi. Gina hanya mengangguk.
“Terima kasih ya! Udah bantuin” ucap Gina sambil membersihkan bajunya yang kotor.
“Ya, sama-sama” balasnya. Kemudian gina pun berpamitan dan melanjutkan perjalanannya. Pemuda itu menatapi kepergian Gina sambil terus tersenyum.
###
“Kamu habis ngapain Gin? Kok baju sama kerudung kamu pada kotor sih?” tanya ibu Gina yang heran melihat Gina yang baru pulang.
“iya bu, tadi Gina jatuh dari motor, pas mau ke pesantren. Ih, malunya Gina bu, banyak orang di sana” jelasnya sabil mencium tangan ibunya.
“Makanya kalau bawa motor harus hati-hati” kata ibu Gina menasehati.
“Iya bu! Ya udah, Gina mau mandi dulu ya” katanya ingin berlalu pergi.
“oh ya, nanti kamu pergi kan? Maulidan di mesjid Nurul Khair desa sebelah?” Tanya ibunya lagi menghentikan langkah Gina.
“iya bu” jawabnya sambil mengangguk mantap, kemudian ia berlalu lagi masuk ke kamarnya.
Ragina sibuk merias wajahnya, juga sibuk membongkar dan mencari-cari kerudung apa yang akan ia gunakan. Setelah semuanya dicoba, akhirnya ia menetapkan pilihan pada kerudung berwarna favoritnya, yaitu biru. Kemudian ia langsung pergi ke tempat tujuan. Ketika ia sampai, acara baru saja dimulai, bait perbait lagu syair berirama nasyid mengalun syahdu dan menyatu dengan tabuhan tarbang oleh mereka yang membawakannya, karena penasaran ingin tahu siapa gerangan pemilik suara. Ia berusaha maju untuk duduk di depan. Betapa terkejutnya Gina, ketika melihat orang yang membawakan syair tersebut.
“lho, itu kan pemuda yang tadi siang!” ucapnya sendiri.
###
Tet. . . tet. . . tet. . .
Bel berdering panjang, pertanda berakhirnya pelajaran. Siswa-siswi MA Ampah menyambutnya dengan suka cita. Mereka keluar saling mendahului. Berbondong-bondong seperti tawon keluar dari sarangnya.
Ragina memacu motornya dengan santai. Lila yang duduk di boncengannya heran melihat tingkah yang seharian ini dirasanya aneh.
“Kamu kenapa Gin? Aku perhatikan kamu ngelamun aja?” ucap Lila dari belakang. Akhirnya lila buka suara.
“Ga ada apa-apa kok” jawab Gina singkat.
“Udah deh, gak usah bohong. Aku tahu kamu lagi mikirin sesuatu. Apa kamu gak mau cerita? Siapa tahu aku bisa bantu” Balas Lila.
“hmm. . . gimana ya?” Gina berfikir sejenak. ”Nanti aja deh kapan-kapan” jawab Gina lagi. Lila yang mendengar jawaban seperti itu. Merasa sedikit tidak dihargai sebagai teman. Tetapi ia juga tak mau memaksa. Mereka akhirnya berhenti di sebuah rumah yang cukup besar dengan cat warna putih.
“mau mampir dulu Gin?” Tanya Lila setelah turun dari motor Gina. Gina menggelengkan kepala tanda ia ingin melanjutkan perjalanan.
“Eit. . . tunggu!” teriak Lila, sesaat setelah Gina ingin memacu motornya. Gina pun ngerem mendadak.
“Ada apa lagi sih?” Tanya Gina cemberut.
“titip salam buat kakak kamu ya!” ucap Lila malu-malu sambil senyum cengengesan.
`”Iya!” Jawab Gina acuh. Langsung dikebutnya motornya. Jilbabnya melayang-layang diterpa angin kencang.
###
“Assalamu’alaikum” ucap Gina kekita sesampainya di rumah. Gina pun langsung masuk. “Lho, kakak ini kan?” ucap Gina terkejut ketika melihat ada seseorang di ruang tamunya.
“Kamu udah pulang ya Gin?” tiba-tiba ibu Gina datang memecah kebisuan dengan membawa sebuah nampan berisi minuman dan makanan ringan. Langsung diciumnya tangan ibunya sesaat setelah ibunya meletakkan nampan di atas meja.
“oh iya, kenalkan ini hafiz. Anak teman ibu yang di Pangkan. Dia ini juga teman kakak kamu” ucap Ibu Gina lagi, memperkenalkan orang yang sedang duduk di kursi. “ya udah, ibu mau ke belakang dulu. Kamu temani hafiz ya!” tambah ibunya. Gina hanya mengangguk. Padahal ia sedang sangat grogi sekarang. Walau begitu, sebagai tuan rumah yang baik, terpaksa ia memulai pembicaraan.
“oh, jadi kamu temannya kak Akbar ya?” ucap Gina terbata. “ eh, makasih ya, udah bantuin aku waktu itu” tambah Gina lagi.
“Iya, sama-sama. Biasa aja kok” balas Hafiz sambil mengembangkan senyuman. Mereka pun akhirnya larut dalam percakapan yang lama.
###
Mendengar cerita dari ibunya kalau Hafiz sering bertandang ke rumah dan ngobrol dengan Ragina, Akbar menjadi takut kalau-kalau Gina jatuh cinta pada Hafiz, sementara Hafiz sudah memiliki pujaan hatinya sendiri. Apalagi Gina sering bertanya perihal Hafiz. Akbar menjadi bingung, apa yang harus ia lakukan.
“Kamu lagi mikirin apa Gin?” Tanya akbar pada Gina yang terkejut dan bangun dalam ketermenungan.
“eh, kakak!” balas Gina sambil nyengir. Akbar pun menatap nanar mata adiknya, berusaha menerawang apa yang ada dalam pikiran Gina.
“Kakak tau? Sekarang aku benar-benar jatuh cinta dengan Hafiz” ucap Gina. Miris hati Akbar mendengarnya.
“Bukannya kakak tak suka. Tapi kamu harsu kubur perasaan kamu dalam-dalam perasaan kamu itu. Lagian belum tentu juga kan dia suka sama kamu. Entar sakit hati lagi” jawab Akbar sambil menasehati.
“Kakak kok ngomong seperti itu sih, harusnya kakak mendukung aku. Dan bantuin akau supaya Hafiz mau menjadi pacarku” Balas Gina kesal. Sambil berlalu masuk ke dalam kamar, akbar berdiri termangu.
###
Ragina tak mengerti mengapa kakaknya bisa berkata begitu. Tetapi ia juga lebih tak mengerti lagi pada dirinya sendiri, sudah lama kenal dengan Hafiz, namun nomor Hpnya gak punya. Tak berselang, senyum manis mengembang di wajahnya, teringat dengan kakaknya. Dengan perlahan sambil mengendap-ngendap menuju kamar Akbar, dibukanya kamar Akbar. “klek” pintu kamar terbuka. “yes, aman” ucapnya dalam hati ketika melihat di dalam tak berpenghuni. Ia pun masuk dan mulai melancarkan aksinya. Matanya mengitari seluruh sudut kamar Akbar dan kemudian terhenti di sebuah meja belajar. Mendapati hp Akbar tergeletak di sampan sebuak foto. Dengan cepat diraihnya hp kakaknya untuk mencari nama Hafiz dan menyalinnya pada hpnya.
###
Hafiz duduk termenung memikirkan kata-kata yang diucapkan Akbar. Ia heran, mengapa Akbar melarangnya bertemu dengan Gina. Dan apa maksudnya Gina memiliki perasaan yang berbeda terhadapnya. Hafiz pusing memikirkannya.
Hafiz terkejut dan terbangun dari lamunannya. Dirasanya Hpnya bergetar. Keningnya mengerut ketika melihat nomornya masih asing baginya.
“hallo, ini siapa ya?” ucapnya.
“Kak, ini Gina. Kakak di mana sekarang. Aku ingin bertemu kakak sekarang” jawab Gina tergesa-gesa.
“Aku lagi di pesantren Darussalam”
“ya udah, tunggu di sana ya. Aku mau ngomong sesuatu” Cerocos Gina.
“tapi. .” ucapan Hafis terhenti. Gina sudah memutus telponnya. Tak lama kemudian, Gina pun tiba di hadapan Hafiz.
“ada apa Gin? Kayaknya ada sesuatu yang penting sekali” Tanya hafiz. Namun tak sempat Gina membuaka mulut, terdengar suara memanggil namanya dan Hafiz. Dari kejauhan terlihat seorang gadis cantik berjilbab lari mendekatinya.
“Syifa. . .!” panggil Gina.
“kamu lagi ngapain di sini Gina? Kalian berdua sudah saling kenal ya?” Tanya Syifa heran.
“kamu juga sudah kenal ya dengan Hafiz?” giliran Gina yang balik bertanya.
“Ya iya lah, kami kan satu kampung. Dan hafiz adalah pacarku, iya kan fiz?” jelas Syifa. Hafiz hanya mengangguk. Penjelasan syifa sangat membuat hati Gina miris dan hancur berkeping-keping. Seperti sebuah kaca yang jatuh ke lantai keramik, pecah menjadi beling-beling kecil. Sakit, bagaikan beribu jarum menancap di ulu hati.
Masih diingatnya disaat teman-teman curhat perihal patah hati dan ia selalu berkata, “sabar saja!” tetapi kini baru dirasanya kata “sabar” tidak mampu menyembuhkan hati yang terluka.
Pupus sudah kini harapannya untuk bisa bersama orang yang dicintainya. Seandainya saja dulu ia mendengarkan apa kata kakaknya, pasti kejadian ini tak akan terjadi. Selum siap rasanya Gina menerima kenyataan yang memilukan ini. Sambil berusaha menahan air matanya yang sudah siap mengalir dari pelupuk mata.
“maaf ya! Aku mau pulang dulu” ucap Gina pelan.
“lho, bukannya ada yang mau kamu omongin Gina? Kok mendadak ingin pulang?” Tanya Hafiz heran.
“iya nih!” sambung Syifa.
“aku lupa, kalau aku sekarang ada janji dengan temanku. Ya udah, syifa, Hafiz, aku duluan ya?” ucap Gina berlalu dari hadapan Syifa dan Hafiz dengan setengah berlari mendekati motornya.
Gina memacu motornya dengan sangat cepat. Bulir-bulir air mata yang sedari tadi sudah bertengger di pelupuk mata kini mulai berjatuhan. Kini mengalir membasahi pipi dan jilbab yang digunakannya. Ingin sekali rasanya ia berteriak sekeras-kerasnya. Untuk memberitahukan kepada dunia akan hatinya yang hancur tak terperikan. Namun apa daya energinya telah habis dan mulutnya serasa kaku. Maka ia hanya bsia memberitahukan lewat air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Inilah akibat dari salah mencintai. Mencintai pacar dari sepupunya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar