Sabtu, 22 Januari 2011

Potret Hidup

Karya: Rifiah Fida

Siang itu angin bertiup semilir, menampar dedaunan dan bunga yang tumbuh. Panas yang menyengat seperti siang ini, seolah ingin dihembusnya, ingin dilindunginya daun dan bunga dari layu.
Seorang gadis tampak tengah duduk bersantai di bawah rindangnya pohon, anak-anak rambutnya yang halus kelihatan berkibar, terurai dihembus paduan angin kecil yang nakal. Tampaknya tak membuat sang gadis terhanyut, terlihat dari parasnya. Ia tengah termenung. Dalam lamunannya ia pun tersadar mengapa harus melamun? Timbul rasa inginnya untuk memotret masa depan yang kelam menjadi masa depan yang cerah. Digapainya sebuah kamera di sampingnya, bergegas dirinya melangkahkan kakinya, menuju kerumunan orang yang ada di sekitar.
Dipandanginya seorang bocah kecil mengais rejeki di tengah jalan, meminta-belas kasih di deretan mobil dan motor. Mengharapkan keikhlasan seorang untuk memberinya dangan cara melantunkan melodi gitar yang dimilikinya. Wajahnya menaburkan senyuman saat mendapatkan sereceh uang yang sangat berharga baginya.
Adinda hampir saja terguncang. Sungguh sukar untuk melupakan senyuman dari bocah-bocah yang begitu lugu dan polos itu. Tak terasa, airmatanya menetes dan cepat-cepat ia hapus. Ia pun langsung mengambil gambar bocah-bocah itu. Adinda terinspirasi untuk mendalami bagaimana cara untuk menghargai dan menghormati, dengan membantu orang yang kesusahan.
Kegiatannya pun mulai ia hentikan sejenak untuk hari esok. Ia pun pergi ke rumahnya. Sesampai di rumah, adinda pun membaringkan tubuhnya ke tempat tidurnya. Di raihnya kamera yang diletakkannya di atas meja. Dilihatnya foto bocah pengamen yang tadi ia potret. Tak terasa meneteslah air matanya dan lansung di hapusnya dengan tangan. Diletakkannya kembali kamera di atas meja, ia pun ingin istirahat sejenak untuk melanjutkan kegiatan esok harinya. Ia pun terlelap dalam tidurnya.
###
Pagi mulai tiba, mentari pun mulai terbit memancarkan sinarnya.
“dinda, bangun nak. Sudah hampir pagi nih” terdengar suara ibunya. Adinda pun langsung terbangun dan menuju kamar mandi untuk cuci muka. Dibukanya jendela untuk menikmati indahnya pagi.
“mm. . . segar” kata Adinda seketika setelah jendela terbuka. Setelah itu, bergegaslah ia menuruni anak tangga menuju dapur untuk sarapan pagi. Beberapa nggota keluarganya sudah ada di meja makan menunggu kedatangannya.
“Dinda” panggil ibu Adinda.” ayo makan sini” ajaknya lagi.
“iya bu,” jawab Adinda. sesampai di meja makan, Adinda dan anggota keluarga yang lain pun makan bersama dengan hikmatnya. Setelah selesai Adinda bergegas untuk ke dapur dan mencuci piring dan gelas. Ketika semuanya selesai, ia lalu menuju kamar mandi.
Matahari mulai menampakkan permukaan kulitnya. Menyinari permukaan bumi dengan mempesona. Adinda sibuk merias diri di depan cermin. Setelah merasa oke, diraihnya kamera di atas meja dan keluar kamar. Siap untuk beraktifitas hari ini.
“ ma, aku pergi dulu ya?” pinta Dinda. tanpa menoleh ke ibunya dan menuju pintu depan.
“ ya” jawab ibunya
Mulailah Adinda untuk melakukan kegiatannya. Ketika dalam perjalanan, ia melihat seorang nenek berjalan tertatih-tatih ingin menyebrang jalan dan menuju jalan setapak yang membelah hutan di seberang. Dihampirinya nenek itu.
“ mau ke mana nek?” Tanya dinda lembut
“ ke sana” jawab nenek, dengan mengarahkan telunjuknya menuju tujuan.
“ oh, githu ya. Mari aku antar nek” dinda menawarkan dirinya. Dengan tuntunannya, nenek pun akhirnya sampai di seberang.
“ Rumah nenek di mana? Biar Dinda antar”
“ di ujung jalan setapak ini, tapi kita harus melalui hutan bambu itu”
“ iya nek”
Dengan hati-hati dinda menuntun nenek. berjalan dengan mengikuti alur jalan setapak dan sampailah di ujung jalan. Terlihat sebuah gubuk tua, bangunan satu-satunya yang ada di hutan ini.
“ inilah rumah nenek, hanyalah sebuah gubuk reot nak” kata nenek setelah sampai di depan gubuknya. “ ayo masuk nak!” ajak nenek lagi.
“ iya nek,” jawab Dinda. pemandangan yang mengiris baginya setelah masuk, ruangan dalam rumah nenek sangat dekil dan kotor. “ mungkin karena tidak ada yang mengurus rumah karena nenek hanya tinggal sendirian, keadaan nenek sudah tak memungkinkan untuk mengurus rumah sendiri” batin Adinda. Ruang tamu hanya beralaskan sebuah tikar kecil, itupun sudah tak layak pakai lagi, banyak lubang di sana-sini. Kamar tidurnya juga hanya tersedia kasur yang sangat tipis, di sudut-sudut kasur berdesakan kapuk-kapuk ingin keluar. Dan dapur hanya terdapat satu tunggu, yang di sisi-sisinya banyak abu arang, terlihat di sampingnya sepotong bambu yang dipakai untuk menyalakan api. Tak terasa menetes air mata Adinda ketika melihat semua karena haru. Melihat seorang nenek yang hidup sebatang kara di tengah-tengah hutan. Ketika merasa puas menemani nenek, dan matahari juga ingin meluncur ke sisi langit. Adinda minta pamit pulang kepada nenek.
“ nek, Adinda pulang dulu ya?”
“ Tapi inikan sudah hampir malam, menginaplah di sini semalam”
“ gak apa-apa kok nek, di depan sana ada sopirku sudah menunggu. Jadi, ma’afkan Adinda nek, mungkin lain kali Adinda akan menginap di sini untuk menemani nenek”
“ baiklah nak, tak ada hak nenek untuk menghalagimu untuk pulang. Ya udah, hati-hati ya nak. Terima kasih telah menemani nenek seharian hari ini”
“ iya nek, sama-sama” Dinda keluar menuju jalan raya. Di sana tampak terlihat sopirnya telah menunggunya, setelah dimintanya lewat telpon tadi. Dinda langsung masuk ke dalam mobil tanpa kata. Meluncurlan sedan Hitam Corolla Altis. Dengan kecepatan yang sedang, tak berapa lama akhirnya Dinda sampai di rumah.
“ mah, aku pulang” teriak Adinda dari ruang depan setelah masuk rumah. Kemudian di dekatinya ibunya.
“ ke mana saja kamu hari ini seharian? hampir malam baru pulang” omel ibunya.
“ berpetualang mah” jawab Adinda sambil senyum.” Ada yang ingin Dinda ceritakan sama mama”
“ mau cerita apa din?” Tanya ibunya antusias.
“ begini lho mah, tadi aku jalan-jalan di pinggir kota. Aku pengen hunting foto-foto hutan di sana. Tapi waktu aku asyik-asyik cari objek, tiba-tiba aku melihat seorang nenek yang ingin menyebrang. Ku hampiri nenek itu, lalu ku bantu sampai seberang. Melihat nenek yang jalannya sudah lemah aku tak tega untuk meninggalkannya di sana. Kemudian aku berinisiatif untuk mengantar nenek sampai ke rumahnya, ya sambil cari-cari objek yang bagus juga. Adinda sangat terharu ketika melihat keadaan rumah nenek,yang hanya sebuah gubuk tua yang sudah tak layak pakai”
“ tujuan Adinda menceritakan ini adalah untuk minta bantuan mama. Mah, boleh nggak aku membantu nenek itu? Aku sangat kasihan dengan beliau yang telah ditinggal suaminya sejak 7 tahun yang lalu” cerita Adinda dengan raut muka sedih. Tak terasa ibunya meneteskan airmata setelah mendengarkan cerita Adinda, timbul rasa bangga di hatinya, melihat anaknya yang begitu peduli kepada sesama. Kemudian di peluknya Dinda, keduanya pun hanyut dalam tetesan air mata.
“ baiklah anakku, nanti kita akan membantu nenek itu” jawab ibunya sambil di iringi isakan tangis.
###
Keesokan harinya, Adinda sibuk menyiapkan barang-barang yang ingin ia hibahkan kepada nenek. Di dalam perjalanan, hati adinda sangat bahagia karena hari ini ia akan membantu orang yang sedang memerlukan uluran tangan.
Mobil land Rover hitam milik ayah Adinda pun melaju dengan kencang, melesat meliuk-liuk melewati mobil-mobil yang ada. Tak terasa, sampailah di hutan pinggir kota. Mobil hanya diparkir di pinggir jalan. Adinda, ibu dan ayahnya kemudian berjalan memalui jalan setapak yang membelah hutan. Setelah melaui hutan bambu, terlihatlah gubuk nenek. Sesampainya di depan, diketuk Adinda pintu rumah nenek.
“ nenek, ini Adinda yang kemaren datang”
“ma. . .ma . .suk. . .lah. . . nak” jawab nenek dengan terbata-bata. Terdengar seoertinya nenek sedanga sesak nafas.
“ nenek sakit ya?” Tanya Adinda, tapi tak ada jawaban lagi dari dalam. Masuklah Adinda bersama Ayah dan juga ibunya. Betapa terkejutnya Adinda ketika melihat keadaan nenek yang sedang terbaring lemah di atas kasur. Langsung dihampirinya.
“ kenapa nek? kenapa nenek jadi begini?” Tanya Adinda. “ sejak kapan nenek sakit seperti ini”
“ su. . . su. . . dah . . . lama . . . nak.” Terdengar sekali, nenek susah menyelesaikan perkataannya. Seperti ada yang menghalangi pada pernafasannya.
“ sepertinya penyakit nenek sudah sangat parah, kita ke rumah sakit ya nek. Biar semua biayanya, orangtua adinda yang tanggung”
“ ga . . gak u, sah nak. Ne, nek su. . . sudah gak ku kuat la. . .” tiba-tiba suara nenek terhenti, seperti ada yang memutus suaranya, nenek pun menghembuskan nafas terakhirnya.
“ nenek . . . .!!” teriakan adinda memecah keheningan. “ jangan tinggalkan adinda nek” dinda langsung memeluk nenek yang tak bernyawa lagi, air matanya pun tak terbendung lagi dan meluncur deras di pipinya.
“ Relakanlah kepergian nenek itu Adinda, Ibu juga sedih melihat semuanya ini walaupun ibu tidak kenal dengan nenek. Dengan kerelaanmu, nenek akan pergi dengan tenang” kata Ibu Adinda menenangkan Adinda dari samping.
“ Bukannya begitu bu, Adinda bisa kok merelakan kepergian nenek. Tapi, Adinda kesal Kepada Adinda sendiri karena belum sempat memberikan bantuan kepada nenek, mungkin andaikan kita datang lebih pagi mungkin kita sempat membawa nenek ke rumah sakit dan nyawa nenek pun bisa tertolong”
“ jangan salahkan dirimu sendiri, semua ini telah diatur oleh yang maha kuasa. Mati dan hidupnya manusia, semua kuasa takdir Tuhan” kata ibu adinda lagi. Adinda pun memeluk ibunya dan menangis sejadi-jadinya. Kita semua tidak tahu apa yang terjadi esok hari, semua yang direncanakan kadang tidak selamanya berjalan mulus karena semuanya berada dalam kuasa tuhan.

Senin, 10 Januari 2011

Kejamnya Hidup

karya : Wahyu Sp.

Senja yang sepi, sejak dua musim terakhir telah jarang kudengar kicauan burung yang seniantiasa menemaniku dari pulang berburu. Kondisi hutan yang kurang nyaman membuat banyak binatang yang bermigrasi. Biasanya suasana sangat ramai oleh suara monyet-monyet yang bercanda ria, tapi sekarang semua berubah. Pohon-pohon yang menjadi tempat berteduh banyak yang dibabat oleh manusia, ditebang seenaknya tanpa sebuah pemikiran yang panjang, ditambah oleh bisingnya suara pemotong kayu, akan semakin membuat suasana hutan tak nyaman. Kemajuan pesat yang dimiliki manusia, kini membuat mereka lupa dengan kami, para satwa yang sangat membutuhkan kenyamanan di hutan.
Aku sebagai kucing hutan pun sebenarnya ingin pindah dari hutan ini, tapi keadaanku sekarang tak memungkinkan. Sekarang aku sedang hamil tua dan tak mungkin untuk berpergian dengan tujuan yang jauh. Lagi pula aku juga tidak memiliki tujuan, aku tak tahu apakah di luar hutan ini masih ada hutan yang belum dirusak oleh manusia. Lebih baik aku bertahan di hutan ini dulu untuk sementara dan menunggu anak-anakku besar nanti. Sembari berdoa semoga masih ada tempat yang nyaman nantinya.
Hari semakin gelap, dan tiba-tiba perutku terasa sakit. Sepertinya aku akan segera melahirkan. Segera kulihat sekitarku, mencari apakah ada tempat yang aman dan nyaman untuk melahirkan. Kulihat di ujung kananku ada tebing yang menjorok, ku rasa di sana aman untuk anak-anakku nanti untuk berlindung dari hujan. Segera, secara perlahan aku berjalan menuju tebing tersebut.
Sesampainya, kucari posisi yang nyaman. Setelah dengan bersusah payah ku mengejan, akhirnya lahir juga ketiga anakku. Aku tersenyum puas karena ini adalah persalinan pertama yang kualami. Mereka terlihat sangat lucu walaupun masih berlumuran darah, warna bulunya masih belum terlalu terlihat. Kujilati tubuh mereka dengan penuh kasih sayang untuk membersihkan darah yang melekat pada mereka. Melihat mereka mencoba bergerak secara perlahan, aku tersenyum.
“ masih belum waktunya anakku, kau masih perlu tidur” bisikku dengan kasih sayang.
Aku yakin mereka adalah anak-anakku yang sangat hebat, yang bisa diandalkan di suatu saat kelak. Terus kujilati tubuh mereka sampai bersih dari darah yang melekat. Merasa kehangatan yang telah kuberikan mereka pun tertidur dengan pulasnya. Disamping mereka masih ada ari-ari yang tentunya berlumuran darah, kemudian kumakan ari-ari tersebut. Aku lelah dan ngantuk, setelah semua berjalan begitu cepat hari ini. Kulingkarkan tubuhku untuk memberikan kehangatan kepada anak-anakku. Aku berharap esok adalah hari yang bersahabat untukku.
###
Matahari mulai merangkak, berikan cahaya untuk separoh bumi. Hangat menyelimutiku, karena silau akupun membuka mataku. Ternyata anak-anakku bangun lebih pagi dari pada aku. Walau masih belum bisa untuk membuka mata, tapi mereka tetap mencoba untuk bergerak dengan perlahan. Inilah puncak kebahagiaan seorang ibu, melihat anak-anaknya pantang menyerah untuk beradaptasi dengan dunia yang baru mereka injak. Aku berjanji akan memberikan kasih sayang yang terbaik untuk mereka. Kujilati mereka satu persatu dengan penuh kasih sayang, mungkin hanya dengan cara seperti ini aku bisa memperlihatkan betapa aku menyayangi mereka. Lalu kuajari mereka untuk bisa mengisap ASI dariku. Ternyata mereka dengan cepat bisa mengerti, mungkin ini memang naluri seorang bayi. Mereka minum dengan rakusnya, kelihatannya mereka sangat haus. Melihat mereka sekarang, mungkin aku takkan tega meninggalkan mereka untuk berburu.
Seharian ini aku hanya bermalas-malasan dengan anak-anakku, hari ini memang akan kuhabiskan untuk menemani mereka. Menyelimuti ketika tidur, memberikan ASI sampai mereka puas, karena malam ini aku berencana untuk berburu. Perutku mulai keroncongan, kayanya dinner dengan lauk tikus tanah akan terasa nikmat. Aku segera membayangkan betapa lezatnya daging tikus tanah yang penuh dengan lemak, sampai menetes air liurku. Tak sabar aku menantikan malam ini. Sambil membayangkan semua itu aku kembali tertidur.
Aku terbangun dari tidurku, tak terasa hari sudah mulai sore. Pemandangan langit yang sangat indah di sebelah barat, meronakan warna orange. Dengan biasan cahaya memantul dengan adanya hujan di wilayah sana membuat pemandangan sore ini semakin mengagumkan. Sungguh tiada banding apa yang diciptakan Tuhan, sungguh sebuah masterpiece alam semesta, seorang maestro seperti Piccaso pun tak akan bisa melukis seperti apa yang kulihat sekarang. Tidak ada yang dapat menyamai maestro alam semesta ini. Selepas dari apa yang kulihat sekarang, perutku kembali berdemo. Melihat anak-anakku yang sedang tidur dangan pulasnya, aku kembali tak tega untuk meninggalkan mereka. Tapi aku harus mencari makan untuk kelangsungan hidupku dan tentunya mereka.
Hari mulai gelap, dan bulan akan menggantikan tugas matahari. Aku berjalan dengan pelan-pelan, takut akan membangunkan anak-anakku. Setelah merasa jauh, aku mulai berjalan seperti biasa. Kadang-kadang aku mengendap-ngendap sambil mengintai apakah ada mangsa yang empuk. Kulihat sekitarku dengan sorot mata yang sangat tajam, takkan ku biarkan aku lengah walau sesaat. Tak terasa, ternyata aku telah berjalan sangat jauh dari tempat anak-anakku berteduh. Sekarang berburu memang lebih sulit, karena mangsaku juga semakin berkurang, jadi harus berjalan jauh dulu. Berbeda sekali dengan dulu, paling berburu sebentar dengan mudah aku mendapatkan mangsaku.
Aku mulai merasa lelah dan memutuskan untuk istirahat. Dari pendengaran sebelah kiriku terdengar suara kresek-kresek dedaunan. Sepertinya itu adalah suara mangsaku, dengan mengendap-ngendap aku mengintai dari kejauhan. Ternyata seekor tikus tanah yang ingin keluar dari sarangnya.
“ wah ada mangsa yang empuk nich,” batinku
Kelihatannya dia juga sangat waspada dengan memperhatikan sekitarnya. Tapi sepertinya dia tak menyadari akan keberadaanku. Aku mulai berjalan perlahan, supaya mangsaku tidak tahu, sembari menunggu momen yang pas untuk menerkamnya. Ketika momen itu datang, aku langsung menerkamnya dan menggigit lehernya. Setelah kurasa mangsaku telah lemas dan tak ada pelawanan, kulepas gigitan di lehernya. Ku pandangi mangsaku yang telah sekarat dengan rasa puas, terlihat sangat gemuk dan sangat lezat tentunya. Kumulai dengan mengoyak-ngoyak kulitnya, ku makan dengan lahapnya sampai tak ada yang tersisa.
Setelah puas menyantap mangsaku, terlihat langit sangat mendung pertanda akan turun hujan. Dan tak berselang lama turun hujan dengan derasnya dengan diselingi kilat-kilat yang menyambar dan bunyi gemuruh petir. Sepertinya aku tak bisa pulang dan harus berteduh. Telihat didekatku sebatang pohon yang sangat besar dan merupakan tempat yang ideal untuk berteduh sementara. Dengan cekatan aku langsung menuju pohon tersebut untuk berteduh. Aku berlindung disela-sela akar yang sangat besar.
Petir semakin menggila, suasana malam semakin terasa menakutkan. Seketika aku ingat akan anak-anakku, pasti mereka takut dengan suara-suara gemuruh petir yang semakin mengamuk. Tiba-tiba petir menyambar ujung pohon yang tak jauh dari keberadaanku. Dengan seketika pohon tersebut tumbang. Aku semakin mengkhawatirkan keadaan anak-anakku, mengkhawatirkan akan keselamatan mereka. Aku dihantui dengan rasa bimbang yang amat sangat. Aku ingin pulang dan memberikan rasa aman kepada anak-anakku, tapi situasi semakin tak memungkinkan. Hujan turun semakin lebat, ditambah dengan amukan angin, suara petir pun sepertinya masih enggan untuk berhenti. Sekarang aku putuskan untuk pulang, dengan berjingkat-jingkat menghidari genangan air yang dalam, tiba-tiba suara petir menggelegar dan hujan semakin tak bersahabat. Aku mengurungkan niatku, aku tak mungkin bisa pulang dengan keadaan cuaca seperti ini, aku juga harus memikirkan keselamatan diriku sendiri, andaikan aku tewas dalam perjalanan pulang lalu siapa yang akan merawat dan membesarkan anak-anakku. Aku kembali ke tempatku berteduh tadi, dingin mulai merayapi tubuhku, karena buluku basah akibat kupaksa untuk kembali tadi. Kulingkarkan tubuhku untuk berlindung dari kedinginan. Kuputuskan aku akan tidur di sini malam ini.
Dalam lelap tidurku, aku terbangun karena terdengar suara gemuruh yang sangat nyaring dan terasa tanah sedikit bergetar. Sepertinya ini bukan suara petir, tapi suara tanah longsor. aku kembali menghawatirkan keadaan anak-anakku. Hatiku merasa sangat gelisah dengan keadaan seperti ini. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada anak-anakku, sebagai seorang ibu yang memiliki naluri keibuan, aku merasakannya. Aku mencoba untuk tenang, tapi tak bisa. Aku mencoba untuk tidur kembali, tetap juga tak bisa. Kegelisahan ini sangat mengahantuiku, apalagi suasana malam semakin mencekam dan hujan semakin tak bersahabat.
Hari mulai terang, dan hujan pun mulai reda. Malam yang terasa sangat panjang bagiku. Aku memutuskan untuk langsung pulang. Dengan cekatan aku berjingkat-jingkat melalui jalan yang sebagian masih tergenang air. Ketika sesampainya di tempat anak-anakku kemaren berteduh, aku melihat pemandangan yang lain di hadapanku, terlihat tebing kemaren tertimbun tanah akibat longsor. Tiada lagi sisi tebing yang terlihat, semua tertimbun tanah yang sangat tebal, seketika hatiku hancur melihat kenyataan di hadapanku. Anak-anakku telah mati tertimbun longsor, tak kusangka kekhawatiranku malam tadi ternyata terjadi. Aku menjadi tak berdaya, rasanya nyawaku terbang. Dengan langkah gontai aku mencoba untuk mengais-ngais tanah, berharap anak-anakku bisa bertahan, walaupun aku tahu itu tak mungkin.
Aku harus menghadapi kenyataan bahwa anak-anakku terkubur hidup-hidup akibat longsor. Ekosistem yang tak bersahabat lagi menyebabkan semua ini terjadi, karena pohon-pohon yang berada di atas tebing ditebang dengan sesukanya, akibatnya tanah mudah longsor. Dan itu terjadi sekarang. Semua akibat keserakahan manusia.
” Tuhan, mengapa harus aku yang menanggung penderitaan karena keserakahan manusia, apakah semua ini adil untukku?” dengan isakan tangis aku berteriak sekencang kencangnya. Menerobos angin, lari menuju langit ketujuh.
###

Sabtu, 08 Januari 2011

Kegersangan Hati

Karya : Helda Aprillia

Malam ini kurasakan lagi sakit hati yang mendalam. Ditemani cahaya bulan dan bintang yang gemerlapan menghiasi langit malam. Ingin rasanya aku melepaskan beban berat di hatiku. Ingin rasanya aku berteriak memecah keheningan malam. Tetapi, perasaan ku tak mampu melakukan semua itu. Aku hanya bisa menangis. Tatkala pikiranku melayang pada kejadian yang pernah ku alami satu tahun yang lalu.
Waktu itu aku kelas 3 SMP dan baru saja melewati libur kenaikan kelas. Saat itu pula aku baru saja jadian dengan seorang lelaki, “Randi” namanya. Dia baru lulus SMA dan akan melanjutkan kuliah ke luar kota. Aku sangat bahagia melewati hari-hari dengannya. Randi adalah cinta pertamaku. Aku tak ingin kehilangannya, karena kau sangat mencintainya. Begitu juga Randi, ia juga sangat mencintaiku.
Tak terasa enam bulan sudah kami menjalani kisah cinta ini. Kami berdua hampir tidak pernah bertengkar. Randi sangat pengertian padaku, dia juga tidak pernah memaksakan kehendak kehendaknya sendiri. Tetapi saat usia hubungan kami memasuki bulan ke-delapan. Aku merasakan suatu perubahan pada diri Randi, tiga hari sekali dia baru menghubungiku dan kadang-kadang seminggu sekali, itupun hanya lewat sms. Aku bingung menghadapi tingkah laku Randi yang berubah drastis, tetapi aku mencoba untuk mengerti dan selalu mengerti. Mungkin dia benar-benar sibuk dengan kuliahnya. Aku tetap berusaha berbaik sangka.
Sampai suatu saat, kudengar kabar bahwa Randi punya kekasih baru.ia satu kampus dengan perempuan itu, bahkan satu jurusan.
“ oh Tuhan, benarkah yang ku dengar ini?” bisikku dalam hati. Aku masih belum percaya. Kutanyakan lagi dengan detail dengan temanku yang mengaku berteman baik dengan Dewi, kekasih Randi yang baru. Akhirnya ku dapatkan nomor telpon dewi. Aku pun langsung menghubunginya.
“ aku cukup menikmati hubunganku dengan Randi. Maaf kalau aku gak tau kalau randi sudah milikmu” terdengar suara dari seberang sana, tanggapan dewi setelah Ku jelaskan tentang hubunganku dangan Randi. Aku hanya bisa terisak mendengar pengakuan itu.
“ berarti sudah tujuh bulan ini Randi membohongi kita” ucap Dewi setengah menyesal. Langsung ku putus pembicaraan kami.
“apa? Tujuh bulan?” teriakku sendiri dengan ditemani tetesan air mata. Aku kaget dengan semua ini. Tak ku sangka Randi bisa seperti itu.
“ Randi, kamu munafik. Aku benci kamu. Aku tak ingin mengenalmu lagi” teriakku sendirian, tak ku perdulikan lagi sekitarku. aku ingin meluapkan semuanya. Aku ingin menghilangkan bayang-bayang Randi. Semua orang melihati aku, tetapi aku tetap masa bodoh dengan semuanya. Yang kutahu sekarang adalah betapa sakitnya dikhianati.
Sekarang aku sudah tahu semuanya. enggan rasanya aku menghubungi laki-laki pembohong itu. Ternyata jarak yang jauh telah membuatnya lupa akan diriku. Kepercayaanku selama ini telah disia-siakannya. Ada sedikit rasa jera menghimpit benakku. Aku tak pernah menyangka bahwa randi bisa sejahat itu denganku. Kebohongannya sungguh hebat dan benar-benar tersusun rapi.
“ Felish, ayo masuk. Sudah malam” panggil ibunya dari dalam rumah. Tanpa kusadari aku telah melamun sejak lama dan terbuai dengan kenangan pahitku bersama Randi. Aku langsung masuk ke kamar dan tidur. Rasa sakit ini akan kukubur dalam-dalam dan akan ku jadikan sebagai pelajaran untuk kehidupanku ke depannya. Walaupun luka di hati ini sulit untuk disembuhkan.
Delapan bulan, bagiku itu bukan waktu yang singkat untuk menjalani sebuah hubungan. Oleh sebab itu, aku sangat sulit melupakan kenangan masa laluku bersama Randi. Aku sadar, jika aku masih saja larut dalam kesedihan ini, aku tak akan bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Aku harus tegar. Mungkin ini adalah resiko yang harus ku tanggung. Dan untuk sementara waktu aku tak ingin menjalin cinta dulu, setelah apa yang aku alami. Aku masih ingin menikmati kesendirianku tanpa kekasih. Meskipun begitu, aku masih punya banyak teman yang bisa membuatku tertawa dan melupakan semua hal yang telah terjadi, meskipun hanya sesaat.