Rabu, 22 Desember 2010

Ibu

Karya: Siyah

Ibu. . .
Kau bagaikan surga
Memberi kesejukan hati
Selalu menerangi jalan kehidupanku
Ibu. . .
Jasamu besar
Tak lekang oleh waktu
Tak bisa kulupa sepanjang masa
Walau sampai akhir hayat
Ibu, maafkanlah
Ku tak bisa membalas jasamu
Sungguh teramat besar dan mulia
Terima kasih ibu

Guruku

Karya: Siyah

Guruku. . .
Kau adalah cahaya
Yang senantiasa menerangi jalan hidupku
Kau berikan ilmu kepadaku
Yang akan selalu berguna di sepanjang hidupku
Guruku. . .
Pengorbananmu sangat besar
Setiapa hari kau bimbing aku dengan sabar dan ikhlas
Kau menuntunku keluar dari kegelapan menuju jalan yang terang

Minggu, 19 Desember 2010

Candu Hidup

Karya : N. Rani

“ terlambat? Ya aku memang terlambat. Harus bagaimana ini?” gerutuku dalam hati ketika melihat jam yang telah menjukkan bahwa sebentar lagi aku harus masuk kelas.
“ ma. . .!” kupanggil mamaku yang biasa ku pintai tolong untuk menyiapkan seragam sekolahku setiap pagi. Pagi? Mungkin sebuah ungkapan yang salah ya, lebih tepatnya setiap pagi yang hampir siang.
Inilah kebiasaanku setiap pagi. Selalu bangun kesiangan. Padahal aku ingin merubah kebiasaan ini dengan memasang jam alarm, tetapi malah tak berguna sama sekali. Aku tetap saja bangun kesiangan.
Setelah menyempatkan mandi, walaupun hanya sempat mandi itik, istilah mandi hanya dengan waktu yang singkat dan cukup asalkan tubuh terguyur air. Aku langsung bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku bergegas mengendarai motor kesayanganku. Kutarik gas dan terus melesat tanpa memikirkan ramainya jalan. Yang ada di otakku hanya ada kata “ ngebut, dan aku harus ngebut!”.
Sesampainya di depan gerbang sekolah yang baru saja ditutup, namun dibuka lagi sedikit oleh security sekolah. Untung dia masih mau membukanya, karena dia sudah mengerti denganku, bagaimana kebiasaanku setiap masuk sekolah. Pasti sangat on time, pas bel berbunyi dan pintu pagar ditutup.
Bukan mama saja yang mengerti bagaimana kebiasaanku ini, tetapi keluarga, guru dan teman-temanku pun mengerti dan memakluminya. Kata mereka aku memiliki penyakit yang tak bisa hilang dariku dan sudah melekat yang menjadi ciri khas tersendiri. Aku sungguh tidak suka dengan sebutan seperti itu.
Malam ini aku merenung memikirkan mengapa aku selalu bangun kesiangan? Padahal tiap malam aku tidak begadang dan aku juga gak pernah tidur terlalu larut malam. Tetapi tetap saja aku bangun kesiangan, kadang aku sendiri merasa heran, apa karena ini kebiasaan turun temurun? Tidak mungkin, tidak ada keluargaku yang sepertiku.
Jam baru menunjukkan angka 7, tetapi aku sudah merasa mengantuk. Mataku terasa sangat berat padahal tidak biasanya aku mengantuk pada waktu-waktu seperti ini. Kuajak badanku untuk berbaring di kasur empukku. Hanya sebentar aku memejamkan mata, aku langsung tertidur.
Dalam perjalanan tidurku, aku memimpikan hal yang aneh sekali. Aku melihat seorang anak laki-laki membawa cahaya yang mirip dengan matahari yang berukuran seperti bola basket di tangannya. Kemudian kudekati dia perlahan-lahan, mataku tak lekat selalu memandanginya. Ketika sudah dekat, tiba-tiba saja anak itu menghilang dari pandanganku.
Pagi-pagi aku terbangun. Apa pagi? Aku sudah terbangun? Tidak biasanya aku bangun pagi. Kubuka jendela kamarku. Kulihat keluar, ayam pun baru berkokok dibarengi dengan terbitnya matahari. Embun masih menetes di dedaunan yang ada di pekarangan rumahku. Oh. . . seperti inikah indahnya pemandangan pagi hari? Ku tak menyangka pagi itu begitu indah, apabila diresapi dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Menghirup udara segar yang membuat hati dan pikiran menjadi segar dan jernih. Sesegar dan sejernih air yang mengalir pada mata air pegunungan.
“ ma. . . ma,!” ku panggil mamaku untuk membuktikan bahwa ternyata aku juga bisa bangun pagi. Dan mamaku pun tidak menyangka ternyata aku bisa bangun pagi. Mama terlihat senang ketika melihatku bisa merasakan udara pagi hari.
“ ma, mama tidak usah menyiapkan seragam sekolahku karena aku akan menyiapkannya sendiri. Sekarang kan aku bisa bangun pagi, jadi aku bisa melakukannya” ucapku sambil tersenyum kepada mama. Tetapi mama malah tertawa setelah mendengar ucapanku, seharusnya kan mama bangga melihatku.
“ mengapa mama malah tertawa setelah mendengar ucapanku?” tanyaku cemberut.
“ kamu nggak ingat ya, kalau hari ini hari minggu” jawab mama, masih sambil tertawa tetapi tertawa yang ditahan-tahan.
“ ups, iya ya, hari ini kan hari minggu. he he” aku pun jadi malu sendiri. Padahal aku menginginkan hari ini adalah hari masuk sekolah. Aku ingin membuktikan kepada semuanya kalau aku juga bisa bangun pagi.
Keesokan harinya mama membangunkanku, tetapi aku baru bangun setelah berkali-kali dibangunkan. Oh, aku bangun kesiangan lagi. Dan begitu juga seterusnya, aku selalu bangun kesiangan dan selalu datang terlambat ke sekolah. Padahal aku ingin merasakan lagi keindahan pagi hari. Biarpun begitu aku tetap bersyukur bisa merasakannya. Aku hanya bisa berharap di kemudian hari aku bisa merasakannya lagi. Sepertinya aku telah dimabukkan rutinitas hari-hari. Secara tak sadar aku dijajah, dan harus memerlukan keinginan yang kuat untuk berubah. Mungkin belum waktunya, karena walaupun sulit dimengerti. Aku masih sangat menikmatinya.

Ibu Segalaku

Karya: Helda Aprilia

Ibu
Engkau bagaikan embun pagi
Yang menyejukkan mata hatiku
Engkau adalah pelita
Yang selalu menerangi jalan hidupku
Bersamamu
Sejuk dan damai rasa hatiku
Aku tak ingin kehilanganmu
Karena engkaulah nafas hidupku
Ibu
Karenamu aku hidup
Untukmu pula lah aku hidup
Aku akan selalu menyayangimu
Mencintaimu sepenuh hatiku
Aku akan selalu berbakti kepadamu
Sampai akhir hayatku
Aku cinta Ibu

Rabu, 15 Desember 2010

Harapan di Ujung Airmata

Karya : Aisyah

Sinar matahari terasa panas menyengat kulit. Keringat bercucuran dari tubuh dinda, yang pulang dari sekolah. Dia mengayuh sepedanya dengan sabar, meskipun kadang-kadang dia menggerutu dalam hati kenapa nasibnya tak sebaik teman-temannya.
Dinda menyeka keringat dikeningnya, memasukkan sepedanya ke dalam rumah, lalu sesaat kemudian berjalan menuju dapur, dibukanya makanan yang tertutup, yang terletak di atas meja.
“ikan kering lagi” ucapnya lirih. Diambilnya piring lalu dimasukkannya nasi sedikit, kemudian dikunyahnya nasi itu bersama ikan kering.
“sedikit sekali makannya Dinda?” komentar ibunya dari belakang.
“eh, ibu. . .” ucap dinda kaget, karena ibunya tiba-tiba saja datang dan berada di belakangnya dengan sambil menepuk pundaknya dengan pelan.
“kamu bosan tiap hari makan ikan kering?” Tanya ibunya lembut.
“nggak bu, Dinda Cuma lagi nggak nafsu makan aja”
“ibu mengerti din, sebenarnya ibu pun bosan tiap hari harus makan ikan kering. Tapi ya mau bagaimana lagi, ibu tak punya uang untuk . . .” kata-kata ibunya terhenti saat jari Dinda menempel dibibir ibunya.
“ibu jangan bicara seperti itu, Dinda nggak pernah bosan kok. Ya sudah nggak usah terlalu dipikirkan bu, yang terpenting bagi Dinda saat ini adalah kesehatan ibu, Dinda nggak mau ibu sakit, Cuma gara-gara memikirkan hal makanan. Nanti kalau ibu sakit, lalu siapa yang kerja? Siapa yang biayai sekolah Dinda?”.ibu Dinda tersenyum manatap anaknya. Bagi ibunya, Dinda adalah mutiara, meskipun Dinda sering membuatnya kesal. Hanya dinda satu-satunya harta yang paling berharga, yang beliau punya dan bagi Dinda, ibunya adalah pelindung dan tempat dia mangadu sekaligus penanggung segala kebutuhan Dinda, karena semenjak kecil sampai Dinda duduk di bangku SMA, ibunyalah yang membiayai sekolah, makan, jajan dan segalanya.
Mungkin banyak orang mengira hidup Dinda bahagia. Bagaimana tidak?, ayah Dinda adalah seorang petani sekaligus pengusaha sukses. Tanahnya yang berhektar-hektar ditanami berbagai macam sayur,buah dan sebagainya, yang melimpahkan uang yang sangat banyak. Belum lagi usaha dalam bidang yang lain. Oleh karena itulah ayahnya memiliki harta yang berlimpah ruah.
Namun ironisnya, sebaliknya dengan Dinda. Hidupnya penuh dengan kekurangan. Mustahil memang, tapi itulah realita yang menimpa Dinda dan ia harus menerimanya dengan sabar dan ikhlas. Dinda memang dilahirkan oleh seorang ibu yang hidunya di bawah garis kemiskinan dan mempunyai 6 saudara tiri atau saudara seayah. Dinda merupakan anak dari istri kedua bapaknya. Sedangkan keenam saudaranya tadi adalah anak dari istri pertama.
Kehidupan antara Dinda dengan saudaranya yang lain sangat jauh berbeda. Bayangkan saja, Dinda hidup serba kekurangan. Dari kecil sampai berumur 9 tahun baru ayahnya ada menjenguknya. Ayahnya hanya tahu mengirim uang, itupun sangat jarang dan sangat tidak mencukupi. Tak usah untuk membicarakan makan dan pakaian, untuk jajan dan uang saku satu bulan saja tidak cukup. Sedangkan ayahnya kadang hanya 3 bulan sekali mengirim uang. Bahkan Dinda terkena penyakit yang berbahaya saja ayahnya samapi tak tahu. penyakit Hepatitis B yang bersarang di tubuhnya hampir saja merenggut nyawanya.
Pucat, kurus, dengan sepasang mata yang sayu, hati ibu mana yang tak sakit hatinya melihat keadaan anaknya seperti itu. Teriris-iris rasanya, apalagi dengan melihat dinda yang semakin hari semakin parah penyakitnya. Dokter bilang, jalan satu-satunya adalah dengan membawa Dinda ke RSUD Provinsi. Rasa tak berinjak di bumi lagi ketika ibu Dinda mendengarnya, dari mana ia bisa mendapatkan uang unruk biaya rumah sakit yang mahal itu.sedangkan untuk biaya sehari-hari saja tidak cukup. Minta uang pada ayah dinda? Itu hanya hal bodoh yang sia-sia, karena ayah Dinda terkenal pelit.
Ternyata Allah sangat mencintai dan menyayangi hambanya yang sabar. Beruntung saja, ada tabib yang bisa menyembuhkan penyakit itu dengan cara tradisional. Ibu Dinda hanya disuruh membawa beras secukupnya dan uang 5000 rupiah sebagai papajar. Dinda pun akhirnya dapat disembuhkan, yang tentunya dengan pertolongan Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan ke enam saudara tiri Dinda? mereka hidup dalam kecukupan. Mereka selalu dimanjakan. Apa saja yang mereka inginkan pasti akan mereka dapatkan. Sebuah ironi yang menyedihkan, keadaan bagai langit dan bumi dengan Dinda.
&&&
Kabut hitam menyelimuti langit. Dinda duduk di beranda rumahnya. Awan mendung itu seakan ikut merasakan apa yang dirasakan olehnya. Rinai-rinai hujan seakan ingin mengiringi kesedihan dan isak tangis hidupnya.
“Dinda. . .” sapa ibunya dari belakang.
“iya bu. . .”
“kamu kenapa menangis?” tak ada jawaban dari Dinda. “ada apa nak?” ibu Dinda mencoba menanyakan lagi.
“Dinda ngggak apa-apa bu” jawab Dinda dengan suara agak serak. Aliran tangisnya semakin deras.
“ kalau kamu nggak kenapa-kenapa, tapi kenapa mesti nangis?”
“Bu. . .” ucap Dinda sambil terisak. “SPP Dinda belum dibayar, padahal Dinda sudah nunggak 4 bulan, tadi Dinda sudah dipanggil pak kepala sekolah. Beliau menanyakan kapan akan dibayar”. Ibu Dinda menghela nafas panjang. Sekarang beliau mengerti mengapa Dinda menangis dan mulai berpikir bagaimana cara untuk mendapatkan uang dan melunasi SPP Dinda.
“Din, kamu bilang dulu sama pak kepala sekolah. Insya Allah bulan depan kita akan bayar semuanya. Kamu doakan saja semoga kue-kue ibu laris terjual dan semoga ayahmu akan mengirim uang untuk kita. Kamu sabar ya. . . ”
Tatapan Dinda semakin sayu. Hatinya seakan remuk ketika mendengar ibunya yang berharap ayahnya segera mengirim uang untuk mereka. Ingin sekali ia mengatakan kepada ibunya, “ hanya hal yang sia-sia bu, apabila kita mengharapkan kiriman dari ayah”. Tapi urung ia ucapkan, ia tak ingin melihat ibunya sedih. Ia sangat tahu betapa cinta ibunya kepada ayahnya, entah apa yang beliau lihat, padahal ayahnya hanya memberikan penderitaan kepada mereka. “ mungkin ini yang dimaksud cinta buta” pikir Dinda.
&&&
Hembusan angin malam kian terasa dingin. Dinda yang sibuk dengan buku-bukunya tak menghiraukan betapa dinginnya malam itu. Konsentrasinya terpusat pada banyaknya tugas sekolah yang harus dikerjakannya.
Meja belajarnya yang hanya diterangi lampu lentera itu, membuat Dinda sulit mengerjakan tugas sekolahnya. Sebenarnyakejadian seperti itu bukan pertamakali dialami Dinda. akibat dari pemadaman listrik yang sering terjadi, Dinda menjadi sering menggerutu sendiri.
“ ayo tidur Din!” ajak ibunya yang sudah dipembaringan.
“ sebentar lagi bu, tanggung nih” sahut Dinda.
“ jangan terlalu larut malam Din baru tidur, nanti kamu bangun kesiangan lo. . .”
“ iya bu, tinggal 2 buah soal lagi kok”
Decaran kilat dan dentuman halilintar seakan berlomba-lomba unjuk gigi. Angin semakin bertiup dengan kencangnya. Saat Dinda akan menyelesaikan tugasnya yang tinggal sedikit lagi. Tiba-tiba lampu lentera yang tergantung padam karena tertiup oleh angin.
“ah, sialan” gerutu Dinda. “lampunya padam lagi”
Keadaan menjadi gelap gulita. Perlahan dicarinya korek api yang terletak di laci meja. Namun sayang, ternyata korek apiny habis. Putus sudah jadinya harapan Dinda untuk menyelesaikan tugasnya. Dibiarkannya buku-bukunya berantakan di atas meja. Direbahkannya tubuhnya di sisi ibunya. Dinda memejamkan matanya, namun sebelum melepas lelah hari ini. Bayangan ayahnya, orang yang sangat dibencinya melintas di pikirannya. Kekesalannya tak terbendung, namun ketidakberdayaannya membuatnya hanya bisa melampiaskan semuanya dengan tangisan dan caci maki dalam hati. Dinda tak bisa melewati malam dengan kebahagiaan. Tidak adanya tanggung jawab dari ayahnya serta kemiskinan yang harus dijalaninya membuat harapan dan cita-citanya akan terkubur dan terjatuh menjadi butiran-butiran air mata. Namun ia tak akan menyerah untuk mencapai cita-citanya. Dan ia akan tetap bersabar menghadapi semua, ia yakin Allah mendengarkan doanya. Allah tidak mungkin menguji hambanya melebihi kemampuan hambanya tersebut. Dinda yakin ia akan bisa melewati semuanya dan menggapai kesuksesan di masa depan kelak.

Selasa, 14 Desember 2010

Sejarah Singkat FASA

Perkenalkan, nama saya Wahyu Hidayat, ketua Forum Anak Sastra Ampah (FASA). Sebuah perkumpulan anak-anak remaja yang saya harapkan akan bisa bermanfaat bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat kota Ampah pada khususnya dengan cara menelurkan karya sastra.
Forum Anak Sastra Ampah (FASA) berasal dari ide saya untuk mendirikan sebuah organisasi yang beranggotakan pecinta sastra. Tujuan pertama saya mendirikannya adalah untuk mencari teman untuk diskusi masalah sastra dan untuk menimba ilmu.
Anda pasti bertanya-tanya, bagaimana proses berdirinya FASA ini. Baiklah, akan saya ungkapkan semuanya di sini. Semua berawal dari pagi sabtu tanggal 31 oktober 2010, pada waktu itu saya sedang menulis sebuah novel, dan tiba-tiba tidak memiliki ide lagi alias blank. Saya langsung bergumam dalam hati,
“andai saja aku memiliki teman penulis di sini, seperti yang ku miliki waktu aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dahulu. Pasti aku gak akan seperti ini, karena di sana ada Zayed, July, Bayu, Amin dan Wawan yang akan selalu siap menjadi teman diskusi yang baik dan selalu bisa memberikan saran yang matang, yang siap langsung diolah menjadi sebuah tulisan.”
Saya akui, selama tinggal di sini, di Kota Ampah. Saya sangat kehilangan mereka, karena banyak pengalaman-pengalaman yang saya dapatkan ketika masih bersama-sama mereka. Bisa dikatakan susah senang selalu bersama. Saya selalu merindukan mereka, tetapi saya sadar membuat mereka ada di sini adalah sesuatu yang mustahil. Karena mereka memiliki kesibukan masing-masing yang tidak mungkin mereka tinggal. Ya, karena Zayed sedang kuliah di Fakultas kedokteran UNLAM, Banjarbaru. July sedang kuliah di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN), Tangerang. Bayu sedang kuliah di Universitas Brawijaya, Malang, yang saya gak tau dia kuliah di jurusan apa. Wawan sedang sibuk menjadi Dosen Muda di STIA, Amuntai. Sedangkan Amin tak jelas rimbanya, dimana dia tinggal, di mana dia melanjutkan sekolah, saya gak pernah diberi tahu.
Saya banyak belajar dari mereka, mereka adalah orang-orang paling hebat yang pernah saya temui, dan saya yakin mereka akan menjadi orang yang sukses kelak. Dan di sini saya mengnginkan mereka, semuanya bahkan. Karena mereka memiliki gaya khas masing-masing. Zayed dengan cerpennya yang khas dengan perpaduan sains dan islam, dan dengan pesan yang keras dan menggigit pembacanya karena disampaikannya dangan sangat gamblang. July dengan cerpennya yang sering menyinggung masalah sosial, pesannya santai tetapi lugas. Pembaca gak akan sadar kalau dia sedang diceramahi melalui cerpen, tapi pesannya dapat tersampaikan dengan baik dan senantiasa melekat di hati pembacanya. Bayu, teman yang sangat saya kagumi karyanya, dia selalu tertarik dengan isu lingkungan dan sosial. Cerpennya mengalir dangan santai, tapi dengan seketika akan menyihir dan meneggelamkan pembacanya ke dalam alam fiksinya. Pesan moralnya disampaikan dengan santai mengalir sepanjang alur cerpennya. Wawan, seorang dosen muda, he he ( menyanjung dikit khan gak apa-apa) karyanya selalu digandrungi wanita muda. Karena selalu bercerita masalah cinta, tetapi tetap dibalut oleh norma-norma islam. Saya akui, cerpen-cerpennya sangat romantis dengan gaya penyampaian yang khas ala wawan. Yang terakhir adalah Amin, orang yang memulai semuanya. Semua pelajar Amuntai kenal dengan gaya khas Amin, kocak itulah kata pertama yang keluar dari saya, penyampaiannya dengan membuat cerita lucu tapi penuh dengan pesan moral selalu melekat dibenak para pembacanya, perpaduan yang sangat mengagumkan. Saya selalu merasa kerdil ketika bersama mereka, mereka orang-orang yang hebat, sedangkan saya bukan siapa-siapa. Dan terima kasih kepada mereka, karena saya banyak belajar menulis dari mereka. Secara tidak langsung sebenarnya mereka yang mendirikan Forum Anak Sastra Ampah (FASA) ini. Karena dari semangat merekalah saya berani melakukan semua ini.
Jadi, yang saya inginkan dari forum ini adalah terciptanya zayed, july, bayu, wawan dan amin yang baru, maksudnya orang yang bisa menjadi teman diskusi saya layaknya mereka dahulu. Karena saya berpikir, ketika saya tidak bisa membuat mereka berada di sini, mengapa tidak saya ciptakan saja suasana yang membuat seolah-olah mereka ada di sini, dengan mencari bibit penulis seperti mereka. walaupun sebenarnya mereka takkan tergantikan. Karena mereka telah memiliki tempatnya masing-masing di hati saya.
Forum Anak Sastra Ampah (FASA), dari namanya saja telah diketahui apa gambaran dari perkumpulan ini. Saya memimpikan lewat perkumpulan ini akan tercipta penulis yang handal, yang karyanya banyak dibaca orang di seluruh dunia. Tidak mudah untuk mencapai itu semua, oleh Karena itu saya membuat sebuah langkah awal dengan mencari siswa-siswi yang berminat dalam bidang sastra. Target pertama saya adalah Madrasah Aliyah (MA) Ampah, hal pertama yang saya lakukan adalah menemui kepala sekolahnya dan langsung mendapat sambutan yang hangat. Jujur sebelum itu, ketika saya masih di rumah, saya sangat merasa gugup dan ragu, takut tidak ada dukungan dari pihak sekolah. Sempat terjadi gejolak di hati saya, apakah lanjut atau batal. Tetapi saya mendengar bisikan hati saya yang berkata, “ ini adalah langkah awal dari sebuah perubahan besar wahyu, angkat kakimu dan melangkahlah ! maka semua akan menjadi lebih mudah”. Merasa mendapat dukungan, saya pun melanjutkan rencana saya dan semua berjalan dengan mudah dan lancar, Seperti yang dijanjikan oleh hati saya. Tetapi pada waktu itu saya masih belum bertemu dengan guru bahasa Indonesia yang memiliki wewenang dalam masalah ini. Melihat yang terjadi waktu itu, saya menjadi sangat yakin langkah pertama saya akan berhasil dan terbukti beberapa hari kemudian setelah saya bertemu dengan bapak Hariyadi, guru bahasa Indonesia MA Ampah. Setelah mendengar penjelasan tentang tujuan saya mendirikan FASA, beliau sangat memberi dukungan dan langkah awal saya pun berhasil dengan daftar siswa yang berminat lumayan banyak. Sungguh di luar dugaan, walaupun pada awalnya saya hanya mengharapkan beberapa orang saja, tetapi yang benar-benar berminat dibidang tulis-menulis sastra.
Setiap organisasi pasti memiliki target masing-masing. Begitu juga FASA dan target pertama FASA yang harus terealisasi adalah membuat blog yang memuat karya-karya para anggota FASA sebagai publikasi pada khalayak umum dam membuat bulletin 2 mingguan yang memuat 2 buah cerpen dan 2 puisi yang akan dibagikan di sekolah-sekolah kota Ampah, dengan nama Bulletin Anak Sastra Ampah (BASA).
Pada akhir bagian ini, saya minta doa dan dukungan kepada teman-teman semua. Semoga apa yang saya impikan terhadap FASA bisa terwujud kelak, walaupun saya yakin semuanya tidak mudah dan harus melalui proses yang panjang. Saya akan memperjuangkan semuanya dengan apa yangh bisa saya lakukan.
Terima kasih kepada bapak Kepala Sekolah MA Ampah yang telah menerima saya dengan baik. Terima kasih kepada bapak Hariyadi sebagai guru Bahasa Indonesia yang telah membantu saya dalam perekrutan anggota. Terima kasih kepada semua, yang telah mendukung saya untuk mendirikan FASA ini. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih pada semuanya.

Luapan Sungai

Riak-riakku selalu penuhi suasana hari
Aku lelah memberi kehidupan pada mereka
Ku rela menderita asal mereka bahagia
Mereka ambil bagian diriku tuk kehidupan mereka
Aku tak pernah marah
Dan aku, memang itulah takdirku
Seluruh hidupku keserahkan pada mereka

Tapi, apa balas mereka untukku
Tiada pernah menganggapku ada
Bahkan mereka dengan sengaja buang sisa nikmat hidup mereka kepadaku
Ini semua buatku lelah dan letih
Apakah tiada sikap baik dari mereka
Entahlah. . .

Sekarang jangan salahkan aku
Aku tak bisa lagi menghadapi semua ini
Tampaknya harus dibikin jera
Akan kuluapkan seluruh tubuhku
Akan ku sapu semua yang ada
Ku harap ini tumbuhkan kesadaran

karya: Wahyu Sp.