Rabu, 20 Juli 2011

Mimpi yang Nyata

Karya: Aisyah
Aneh, mistik, itulah suasana yang kulihat dan kurasakan. Cahaya berwarna ungu gelap serta kabut tipis, menyelimuti di setiap sudut tempat. Pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat, tak lagi terlihat berwarna hijau tua ataupun kuning seperti biasanya, tetapi terlihat agak kehitam-hitaman, karena berbaur dengan rona hari yang ungu gelap. Tak ada suara burung ataupun suara orang, semuanya hening dan sunyi. Entah tempat apa ini? Desa apa ini? Aku pun tak tahu. Hanya saja, tahu-tahu aku sudah berdiri mematung di tempat ini, di bawah rimbunan pohon bambu.
Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat rumah panggung yang besar. Berbahan dari kayu. Melihat dari bagian depan rumah, rumah itu dibangun mengikuti bentuk huruf L. dibagian terasnya terjejer kursi-kursi dari kayu dan rotan.
“krrieeek. . . . .!” suara rintihan engsel pintu, terdengar sampai ke telingaku. Aku langsung memandang ke arah pintu. Perlahan pintu merengggang dan akhirnya terbuka lebar. Nampaklah seorang laki-laki bertubuh kekar, mempunyai tinggi badan kira-kira di atas 175 cm, dia melangkah keluar sambil menundukkan wajahnya. Kemudian duduk di salah satu kursi yang berjejer panjang.
Aku berjalan maju mendekati rumah itu, kuamati wajah laki-laki yang terus menunduk itu. “prraaaakk!” sebuah bunyi terdengar, langkahku langsung terhenti. Perlahan kutundukkan kepalaku, mataku manatap ke bawah, kuangkat kakiku yang kanan.
“huh!” aku langsung menarik nafas, lega. Ternyata kakiku menginjak ranting bambu kering. Padahal tadi, jantungku sudah mau copot rasanya, Gara-gara bunyi yang mengagetkan itu. Aku kembali mengangkat wajahku. “oh, Tuhan!” kini rasanya jantungku kembali ingin lepas dari kerangka tubuh. Laki-laki itu memandangku, rupanya suara ranting yang patah tadi terdengar olehnya. Aku jadi gelagapan, matanya yang bulat berwarna coklat menatap tajam ke arahku. Rambutnya yang hitam pekat, beradu gelap dengan suasana. Aku melihat sebuah tahi lalat kecil di dekat matanya, di bawah alis.
“oh, , ,” aku mendesah pelan. Kututup mulutku. Seakan-akan menghindari polusi udara. Tubuh itu, wajah itu, tahi lalat itu, membuatku menghembus nafas panjang beberapa kali. Karena yang kutahu, pemilik lekuk-lekuk tubuh itu adalah Rifki. Ya Rifki, calon suamiku.
Aku berlari kecil bermaksud menghampirinya. Namun, di saat aku sampai di bibir teras. Dia masuk ke dalam rumah, seperti menghindari aku. Aku tak perdulu dengan sikapnya, aku terus saja melangkah ke tuas, ku dekati daun pintu yang terbuka. Kupandangi ke seantero dalam rumah, dia tak ada. Aku jadi penasaran dibuatnya. Aku masuk ke dalam rumah, tapi dia benar-benar tidak ada di dalam rumah ini. Di kamar? Ah, mana mungkin, rumah ini tak punya kamar. Di dapur? Ini juga tak mungkin, karena rumah ini dibangun tak seperti rumah sekarang. Jika pintu rumah dibuka, dari depan pun terlihatlah seluruh perabotan rumah tangga hingga ke dapur, lalu ke mana dia? Aku bertanya kepada diriku sendiri.
Belum habis rasa bingungku, tiba-tiba terdengar deru bus dari luar rumah. Aku membalikkan tubuhku ke arah pintu, memandang ke arah sumber suara. “ya Allah. . .!” kulihat dia sudah berdiri di pinggir jalan dan siap masuk ke dalam bus. Dari mana dia bisa keluar dari rumah ini? Mengapa tiba-tiba dia sudah berada di pinggir jalan? Ah, pertanyaan-pertanyaan dalam hatiku, membuat kepalaku terasa sedikit pusing.
Tak ingin membuang waktu. Aku segera keluar dari rumah, berlari menyusulnya. Namun sayang seribu kali sayang. Baru saja aku sampai di pinggir jalan itu, bus telah berlalu bersama RIfki. Aku duduk tersungkur tak berdaya, Rifki meninggalkanku. Perlahan Kristal-kristal bening laksana mutiara menetes dari pelupuk mataku. Dan tak lama kemudian, berubah menjadi aliran sungai yang mengalir hangat,lembut membasahi pipiku.
Tak tahu harus melakukan apa, aku membaringkan tubuhku yang terasa lelah, di atas jalan yang belum sempurna di aspal. Kubiarkan batu-batu kerikil bersentuhan dengan kulitku. Mengalirkan hawa dinginnya, merasuk masuk kedalam tubuh melalui celah pori-pori kulit. Kupejamkan mataku, semuanya pun seketika berubah menjadi gelap.
“Voni, bangun. . .!”
“ya” sahutku, aku langsung bangun beralih ke posisi duduk, karena saking kagetnya. Bersamaan dengan itu aku membuka mata. “hah? Apa yang terjadi?”tanyaku dalam hati. Mataku celingak-celinguk menatapi di sekitarku, lemari, foto Rifki,boneka beruang, semuanya ada di dekatku. Berarti ini kamarku! Lalu, mana tempat aneh tadi? Mana rumah besar tadi? Mengapa semuanya berubah jadi kamarku? Kukucek-kucek mataku, tapi tetap saja yang kulihat adalah kamarku. Aku menoleh ke samping, ternyata ada mamaku, beliau tersenyum padaku. Ya ampun, saking linglungnya aku tidak sadar kalau ada mama. Jadi, rumah besar itu hanya mimpiku saja.
“hey, hey,”mama mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. “kamu kenapa?” lanjut mama lagi.
“aku gak kenapa-napa ma” sahutku.
“kamu sakit?” Tanya mama lagi. Aku menggelengkan kepala.
“ma. .!”
“ya?” sahut mama.
“tadi malam aku bermimpi aneh, aneeeeeh banget” mama mengerutkan kening, alisnya terangkat.
“mimpi apa?” Tanya mama ingin tahu. Aku pun menceritakan semuanya pada mama tentang mimpiku. Mama tersenyum mendengar ceritaku, dibelainya rambutku.
“sudahlah, tak perlu dipikirkan. Mimpi itu Cuma bunga tidur” kata mama menenangkanku.
“ya” jawabku.
“kalau kamu memikirkannya, itu hanya menjadi beban pikiran kamu. Nanti kamu bisa sakit, bagaimana dengan pernikahanmu nanti? Kan dua minggu lagi akan dilaksanakan. Kamu kan kalau sakit, jarang banget sembuhnya cepat” lanjut mama.
Aku tersenyum mendengar ucapan mama. Ya, dua minggu lagi pernikahanku akan dilaksanakan. Ah, rasanya aku sudah tak sabar lagi menunggunya. Menunggu hari persandinganku dengan Rifki.
###
“tet tet. . .tet tet” handphoneku berdering. Aku segera mengambilnya yang tergeletak di atas meja. Satu pesan kuterima, aku langsung membukanya.
“Von, cepat susul mama ke RSUD Tamiang Layang. Rifki kecelakaan dan sedang dirawat di sini” mataku terbelalak membaca sms dari calon mertuaku. Segera kuberitahu mama.
“aku harus ke sana sekarang” kataku pada mama.
“mama ikut Von, mama kuatir kalau kamu sendirian ke sana. Kamu tahu sendiri jalan dari Ampah ke Tamiang Layang sangat sepi, jarang ada rumah orang, apalagi sekarang sudah malam” ucap mama. Aku hanya bisa mengangguk. Segera kukeluarkan kendaraan dari garasi. Kemudian kami langsung meluncur menuju Tamiang Layang.
###
“Gimana keadaan Rifki ma?” tanyaku pada calon mertuaku yang menunggu Rifki di luar kamar rumah sakit.
“mama juga belum tahu, dokternya belum keluar” lirih mama Rifki.
“Rifki kecelakaan di mana ma?” lanjutku
“di desa Patung. Kata Herman sepupunya Rifki yang kebetulan tinggal di sana, Rifki bertabrakan dengan sesame pengendara motor, di dekat simpang jalan menuju desa Pangkan. Pengendara itu ingin menyebrang ke sebuah gang, tiba-tiba Rifki datang dari arah Saing mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Akhirnya keduanya pun bertabrakan, Rifki jatuh terpelanting, kepalanya membentur aspal jalan”
“dug ! !” jantungku berdegup kencang. “membentur kepala? Oh! Tidak mungkin. Luka di bagian kepala ini pasti parah. Karena di sanalah titik kepekaan luka bersarang” kata hatiku. Aku duduk di samping mamanya Rifki, dan mamaku duduk di sampingku. Kutatap wajah mamanya RIfki, matanya merah lembab, karena terlalu banyak menangis.
“kita doakan semoga Rifki baik-baik saja, ma!” ucapku menenangkan. Kuhapus bayangan seram tentang keadaan Rifki. Kutatap arlojiku, jam sepuluh malam. Berarti sudah dua jam aku menunggu di sini. Aku memejamkan mata, rasa ngantuk mulai menyerangku. Namun aku segera terbangun ketika mendengar suara engsel pintu kamar rumah sakit yang dibuka. Dokter keluar, mukanya bercucuran keringat. Aku beranjak menghampirinya.
“bagaimana keadaan Rifki dok?” tanyaku segera. Kulihat raut wajah yang lain tersirat pada dokter.
“mmmh. . . luka bagian kepala itu mengakibatkan pendarahan yang sangat parah, kami sudah berusaha semampu kami” lirih dokter itu, Nampak rasa bersalah hinggap di wajahnya. Kelihatannya ia agak ragu untuk melanjutkan ucapannya. “tapi maaf. . .”ucapannya terhenti ketika aku tiba-tiba menerobos masuk ke kamar tempat Rifki terbaring. Aku sadar kalau Rifki telah tiada. Saat berada disampingnya, segera tangisku meledak, dadaku terasa sesak. Kuhampiri tubuh jangkung yang kini terpisah dari rohnya, kuusap keningnya, wajah tampannya terdiam kaku, dingin.
Mamaku dan mama Rifki berdiri di belakangku. Keduanya tenggelam dalam kesedihan. Airmata senantiasa mengalir di pipi. Ketika aku membalikkan badan, mama langsung memeluk tubuhku. Seakan mengerti dengan suasana hati dan perasaanku, bahwa saat ini aku tak kuat menghadapi semuanya.
“kamu sabar ya! Semua ini hanyalah cobaan, sayang. Kamu harus tetap tegar” ucap mama sambil mengelus rambutku.
“tapi ma, Voni gak mau kehilangan Rifki. Dia sangat berarti buat Voni” balasku, airmata di pipiku semakin mengalir deras.
“Voni, mama ngerti, sayang. Mama ngerti. Tapi kamu harus ingat, semua ini sudah takdir. Jika Rifki benar-benar sangat berarti buatmu. Wajar saja, jika dia kini hilang dan jauh darimu. Karena kita tidak akan pernah menemukan hidup kita, sebelum kita kehilangan sesuatu yang berarti, yang kita miliki” kata mama menguatkanku. Aku terdiam. Aku sudah tak tahu harus melakukan apa. Aku lelah, mungkin perkataan mama ada benarnya.
###
Malam kematian Rifki seperti menerbangkan mimpi-mimpi yang sebentar lagi menjadi kenyataan. Pernikahan, ah! Semuanya kini hanya tinggal sebuah mimpi. Di kamar ini, aku sendiri, menatap wajah Rifki di balik sehelai kertas.
Rifki tersenyum di bawah rindangnya pohon bambu. Aku kembali menangis. Foto yang kuambil sewaktu liburan ke Banjarmasin satu tahun yang lalu. Melayangkan ingatanku kembali pada mimpi malam kemaren. Sejenak kubayangkan lagi mimpi itu. Oh, semuanya laksana mimpi berbuah kenyataan, mimpi yang kini terwujud menjadi kenyataan. Bus dalam mimpiku ternyata jelmaan sebuah keranda mati yang mengantar Rifki ke tempat peristirahatan terakhir.
Aku mengambil buku harian di laci meja. Kulepas foto Rifki dari bingkai. Kutempel foto Rifki di buku harian kecil. Di halaman belakangnya ku tulis sebuah puisi,

Saat kau meninggalkanku,
Mimpi lenyap. . .
Di batu nisan terukir namamu,
Meninggalkan satu cinta yang begitu dalam
Tinggallah kini daku sendiri, menempuh hari-hari
Kelam. . .
Kau tahu?
Airmataku sudah tak mampu lagi
Mengungkapkan perasaanku
Hancur hidupku!
Melepas dirimu
Dari sisi, untuk selama-lamanya
Voni Syahada, 14 januari 2011

Kubandingkan tubuhku, kupeluk erat buku harianku. Kupejamkan mataku, kegelapan menghanyutkan diriku, menghanyutkanku ke ketidaksadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar