Rabu, 20 Juli 2011

Malaikat pun Tertawa

Karya: Wahyu Sp.
“hey, kau curang!” aku berteriak menunjuk seorang anak setan yang sedang jongkok di depanku. Ia hanya terkekeh.
“maaf, maaf! Kukira kau tak melihat, ha ha ha” ia hanya tertawa, tanpa merasa bersalah setelah dengan sengaja memindah kelerengnya, untuk mendekatkan ke target kelereng yang lain di dalam segitiga. Aku menjadi semakin jengkel. Kiranya aku mudah untuk dibodohi, ini merupakan penginjakan terhadap harga diriku.
“kurang ajar kau! Emangnya kau anggap aku ini orang buta hah?” hardikku. Namun, ia masih saja terkekeh. Tak menghargai aku sama sekali sebagai warga Negara Indonesia, yang memiliki hak untuk tidak ditertawakan waktu marah. Eh, gak nyambung ya? He he.
“sorry cuy! Aku Cuma mo bercanda kok, gak usah diambil hati” kilahnya, wajahnya yang selalu membuat aku kesal menjadikan aku sulit untuk memaafkannya. Maka pertikaian ini menjadi sengit, bak meletusnya perang dunia ketiga.
“cepat kembalikan kelereng kau ke tempat semula!” kembali kumaki, ia memang suka membuatku marah dengan menjahili aku.
“oke, oke!” maka diambilnya kembali kelerengnya. Mukanya! Mukanya itu sekali lagi membuat aku sangat jengkel. Rautnya masih saja ingin tertawa sekeras-kerasnya namun ditahannya mati-matian, maka apa yang terlihat. Justru membuat mukanya semakin jelek. Jujur sebenarnya aku juga ingin ikut tertawa, menertawakan wajahnya yang lucu setelah kumaki.
“gitu donk, masa main kelereng gak fairplay? Di sepakbola aja ada fairplay” aku mencoba untuk memojokkannya, supaya ia semakin merasa bersalah.
“iya, iya aku ngaku salah”akunya. sekarang ia masuk dalam cengkramanku, maka dalam perang ini kunyatakan ia telah mengibarkan bendera putih dan aku menjadi jawaranya.
“ya udah” balasku memaafkannya “tapi nanti akan kuadukan masalah fairplay ini ke PKSD, supaya kau tak dapat curang seperti ini lagi, he he” lanjutku lagi. Sekarang aku yang terkekeh, merasa sedang di atas angin.
“tega sekali kau yu, sama teman kok gitu. Tapi klo boleh tau, PKSD itu apa san? Kok aku baru dengar ya?” Wawan menampakkan wajah memelasnya tapi juga bingung dengan istilahku.
“ PKSD itu, Persatuan Kelereng Seluruh Dunia” jawabku sok tahu.
“emang, ada yu?” tanyanya lagi tak yakin, kelihatan sekali dia tak percaya.
“ya, mungkin! Ha ha ha” jawabku lagi sekenanya. Aku hanya tertawa melihat wajah Wawan yang terlihat bodoh, memikirkan kata-kataku tadi. Namun aku segera diam, wajahnya kembali terlihat serius, sepertinya dia sedang berfikir keras, seperti ada makhluk halus yang sedang merasuki dirinya. Seketika suasana hening sesaat, aku termenung dan ia tetap berpetualang dalam pikirannya sendiri.
“gak mungkin san. Mana ada PKSD” tiba-tiba suara Wawan segera memecah keheningan. Rupanya yang ia pikirkan dengan keras tadi adalah masalah PKSD, kiranya aku sangat serius dengan ucapanku.
“ha ha ha” aku hanya menjawabnya dengan tawa yang keras, lucunya ia hanya diam, keliahatan sekali ia tak mengerti dengan situasi bahwa aku sedang membodohinya. Polos! Sangat polos. Rupanya akalnya hanya cukup untuk membodohi aku dengan cara klasik, dan tak tanggap bila bermain dengan politik.
###
Aku dan Wawan telah menjadi teman akrab sejak sekolah TK, bahkan sampai sekarang ketika umur kami menginjak sepuluh tahun kami telah menjadi pathner in crime, maka segala akar kejahatan dalam dunia anak-anak, kami lah dalangnya. Ke mana pun kami selalu berdua, di sekolah pun kami duduk sebangku, maka kami juga sudah menjelma bak Batman dan Robin. Wawan telah dikaruniai kelebihan dalam kejahilan, namun ia juga sangat lugu. Maka aku, yang jujur saja mengaku lebih pintar dari Wawan, seharusnya menjadi orang pertama yang memberi gambaran logis apabila rencana kejahilannya sudah menggila dan mulai tak masuk akal.
Wawan tak hanya suka jahil kepada orang, denganku pun ia juga suka jahil. Sebenarnya aku sering ingin marah dan jengkel. Namun, mimik wajahnya selalu membuatku mengurungkan niatku. Sebenarnya aku juga ingin membalas kejahilannya, tapi jika melihat wajahnya yang polos maka aku sering tak tega. Wajahnya itu, selalu seperti meminta untuk dilindungi dan dikasihi.
Baiklah, sekarang aku akan memberi gambaran fisik wawan. Tubuh kurus, pendek, kulit hitam, berambut ikal tak terurus. Maka Wawan terlihat seperti anak kekurangan gizi, layaknya gembel, oleh karena itulah tak salah bila aku menyebutnya anak setan, karena seperti itulah gambaran tentang Wawan yang ditambah oleh otak ganjilnya yang selalu menjanjikan pertualangan yang tak terduga. Wajahnya selalu terlihat sendu, seperti ada sesuatu kesedihan yang ditanggungnya sejak lahir. Maka Wawan seperti memiliki daya magis, yang hanya ia satu-satunya orang yang seperti itu di dunia ini. Sering aku tak dapat menolak apa yang diajaknya, seolah aku hanya bisa mengangguk saja dibuatnya. Di satu sisi aku sebagai orang yang masih sedikit waras ingin menolak ajakannya, namun di sisi lain, raut wajahnya yang sungguh kasihan membuatku luluh, luluhlantak. Lirikan matanya selalu menjanjikan pertualangan yang menantang. Maka tak dapat dipungkiri, aku selalu ikut dengan kemahatololan persekongkolan ini.
Kawan, daya magis Wawan berlanjut sore ini. Ia mengajakku mencuri durian yang jatuh di pulau durian milik pak haji Adul. Akibat kelihaiannya dalam menghasut, bakat yang telah dimilikinya sejak lahir, aku hanya ikut saja apa yang direncanakannya. Padahal, agar kau tahu ya kawan, perkara dengan pak haji Adul bisa runyam urusannya. Pak haji Adul terkenal galaknya seantero kampung, dia selalu membawa Mandau ketika menjaga duriannya. Pak haji Adul bisa menjadi tidak berperikemanusiaan bila tempramennya sedang kumat, apalagi akhir-akhir ini sering sekali duriannya hilang dicuri anak-anak dan beliau tak pernah mendapati pencurinya. Maka secara logis posisi kami sekarang adalah menyerahkan diri sendiri kedalam kubangan yang penuh dengan buaya, tak sembarang buaya, buaya yang tidak makan 3 bulan, sampai-sampai keroncong perutnya terdengar sampai keluar. Pernah kudengar cerita temanku Amar, yang kedapatan mencuri durian pak haji Adul tahun lalu. Ia tak sempat lari karena pak haji Adul secara tiba-tiba, seperti makhluk gaib langsung menarik leher bajunya ketika hendak mengambil durian, maka Amar hanya bisa tersenyum masam—pasrah ketika menengok kebelakang, melihat siapa yang gentayangan. Dan pak haji Adul pun tersenyum dengan penuh kemenangan. Akibatnya fatal, Amar disuruh telanjang namun masih memakai baju. Tak dinyana, Amar harus menanggung malu pulang ke rumah tanpa celana karena celananya disita oleh pak haji Adul. Sialnya lagi, untuk pulang Amar harus menyeberang jalan raya. Kabar perkara Amar yang tertangkap basah—basah kuyup, cepat tersiar ke seantero kampung. Akibat menanggung malu yang tak tertanggungkan, Amar tiga hari tak berani keluar rumah, sekolah pun ia tak mau, bahkan sempat ingin berhenti sekolah. Namun beruntungnya ia dapat diluluhkan oleh wali kelasnya, Ibu Dewi yang memiliki wajah jelita, sejelita Dian sastrowardoyo, yang mengunjunginya ke rumah, merayunya untuk mengibarkan lagi bendera tut wuri handayani di dalam hatinya. Maka besok harinya ia mulai berani untuk kembali pergi ke sekolah. Kekejaman pak haji Adul terbukti sangat tidak berperikemanusiaan, bila perlu bisa dilaporkan ke Komnas HAM.
Sebelum pergi ke pulau durian pak haji Adul, menurut Wawan kami harus mempersiapkan penyamaran supaya pak haji Adul tak bisa mengenali kami. Maka kami membawa 2 potong sarung untuk menutupi wajah kami dan kami pun terlihat seperti ninja, sehingga pak haji Adul tak akan bisa mengenali kami. Sungguh hebat skenario dari Wawan. Kami segera mengendap-ngendap ketika sampai di pulau durian, terlihat pak haji Adul dari kejauhan sedang membakar kayu di depan pondok miliknya. Aku berjalan perlahan, “praakkk” tiba-tiba kakiku terinjak ranting. Segera saja pak haji Adul menoleh ke arah kami, seketika kami berlindung di balik pohon. Ia terus memandangi sekitar, namun tak ada yang terjadi, ia pun melanjutkan aktifitasnya.
Sesekali mataku memandang ke atas, sungguh menakjubkan karena di sana bergelantungan ratusan biji durian bahkan ribuan mungkin, yang menunggu waktu untuk menjatuhkan diri. sungguh pemandangan yang membuat air liurku sampai menetes. Aromanya yang padat, menyengat hidungku. Sungguh sebenarnya aku suka berada di sini, suka mencium bau durian.
Sore ini tidak terlalu berangin sehingga tidak banyak durian yang jatuh, apabila jatuh juga, pasti pak haji Adul yang langsung memungutnya. Namun kami tetap berkeliling kebun, meloncat-loncat dan bersembunyi di balik pohon, sembari berharap ada durian jatuh yang terlewatkan oleh pak haji Adul. Telah 2 kali kami berkeliling kebun namun hasilnya tetap nihil, “debbukkkkk” terdengar suara durian jatuh, jaraknya sekitar 30 meter dari kami, namun dari kejauhan pak haji Adul sudah berjalan ingin mengambilnya. Aku hanya pasrah, karena apabila kuambil maka kami akan dikejar pak haji Adul. Aku memperhitungkannya dengan matang, maka aku tidak apa-apa bila perburuan hari ini tak membawa sebiji durian pun. Namun pikiran dan pertimbangan yang berbeda dalam otak ganjil Wawan, mungkin karena saking inginnya ia memakan durian maka daya pikir logisnya mulai tak berfungsi. Dan dengan sekejap ia berlari ingin mengambil durian, pak haji Adul yang melihat duriannya akan diambil orang lain, tak terima. Pak haji Adul pun ikut berlari. Terjadilah perebutan siapa yang akan dapat mengambil durian itu lebih dahulu. Sebenarnya selangkah lagi durian itu dapat diambil oleh pak haji Adul, namun dengan sekejap Wawan mencurinya. Maka Wawan lah pemenang dalam pertarungan ini. Ia bisa berlari sangat gesit, menembus angin. Sebenarnya pak haji Adul juga seorang sprinter, namun itu dulu, dulu sekali, pada tahun jadul 70-an. Kini Ia tak bisa membohongi usianya yang sudah semakin senja.
Aku hanya termangu ketika melihat Wawan yang telah berhasil mengambil durian pak haji Adul. Terpesona lebih tepatnya. Sepertinya otak Wawan telah diracuni nafsu tupainya untuk makan durian. Maka sekarang kami harus berlari sekencang-kencangnya, karena pak haji Adul sangat kesal pada kami. “bandiiiiiiittttttttttttt” teriaknya kesal. Kami telah berhasil mencabik-cabik harga dirinya. Celakanya ia tak terima, maka kami dikejar habis-habisan. Tuhan terbukti selalu adil kepada hambanya. Kami pun, entah mengapa, mengambil jalan yang hanya akan menyudutkan kami. Sebenarnya aku tak ingin mengikuti jalur ini, namun aku sekali lagi terlena oleh ajakan Wawan. Seharusnya aku bisa menjadi penyeimbang kepanikannya. Mungkin karena yang dipikirkannya hanya bagaimana untuk lari secepat mungkin tapi tak mempertimbangkan ke mana ia harus lari. Kami tersudut di tepi sungai, tak bisa lari kemana-mana. Mati semaput. Sawah yang telah di panen, kering, Menjadikan pengejaran kami menjadi sangat mudah. Hamparan sawah yang luas, di samping pulau durian tadi. Tak ada tempat persembunyian untuk kami. Tak jauh dari kami, menumpuk jerami padi yang mengering. Aku menyumpah-nyumpah kepada Wawan.
“brengsek kau wan, setelah nekat mengambil durian pak haji Adul. sekarang kau bawa aku ke dalam posisi yang rumit ini” hardikku.
“salahmu, kenapa kau ikuti aku?” jawabnya acuh.
“salahku? Lidah memang tak bertulang, mudah sekali kau berucap. Andai kau lari ke arah hutan, maka sekarang kita telah lolos” hardikku lagi dengan lebih keras. Ia hanya terkekeh, entah apa yang sedang dipikirkannya di dalam otak ganjilnya.
“nasi sudah menjadi bubur kawan!, maka nikmati saja permainan ini” jawabnya santai, tetap terkekeh. Ingin sekali aku menghardiknya lebih keras lagi, namun percuma, tak kan membuat posisi kami menjadi lebih baik. Ditambah lagi otaknya yang bebal untuk menerima hardikan.
“oke, oke. Sekarang kau bertanggung jawab untuk pelarian kita ini. Bagaimana caranya kita bisa lolos sekarang? Apa pun idemu aku akan ikut” ucapku, aku hanya pasrah. Ia diam sesaat, ia menatap tumpukan jerami padi. Tiba-tiba di atas kepalanya menyala sebuah lampu pijar, ide brilian pun hinggap dalam kepalanya. Ide brilian yang meloloskan kami sekaligus menghukum kami.
“eemmm, bagaimana kalau kita bersembunyi di dalam tumpukan jerami itu. Nanti ketika hari mulai gelap, kita akan keluar dan pulang ke rumah” jelas Wawan. aku pun berpikir sejenak, tak ada jalan lain. Maka aku pun menyetujui ide Wawan. Tak menunggu lama kami pun langsung menulusup di tumpukan jerami. Terdengar suara telapak kaki, tiba-tiba saja sekarang berdiri pak haji Adul, hanya lima meter dariku. Nafasku tercekat, aku berusaha diam tak bergerak agar persembunyian ini berhasil. Kilauan mata Mandau ditangan pak haji Adul memantulkan cahaya matahari sore. Lama sekali ia berdiri di dekatku. Aku menjadi merinding, aku membayangkan penderitaan yang akan kami tanggung andai kami ketahuan. Ia pun berjalan ke tepi sungai untuk melihat-lihat.
“brengsek. . ., mereka menyembrang sungai” ucapnya sendiri ketika melihat telapak kaki kami di tepi sungai. Mendengar ucapannya itu aku menjadi lega, persembunyian kami berhasil. Ia putus asa, dan kembali berjalan menuju pulau duriannya. Kami lolos dari lubang jarum, berkat ide brilian Wawan. Sungguh ia merupakan manusia pilihan Tuhan yang dikaruniai otak yang cemerlang, aku saja tak sampai memikirkannya.
Hari mulai gelap, matahari sudah mencium bumi disebelah barat. Kami pun pulang ke rumah dengan kemenangan. Kemenangan karena berhasil mencabik-cabik harga diri pak haji Adul. Kemenangan karena pak haji Adul tak akan bisa menangkap kami karena ia tak mengenali kami. Sungguh brilian juga ide Wawan untuk memakai sarung di kepala kami, sehingga wajah kami tak terlihat ketika dikejar-kejar tadi, karena kami hanya terlihat seperti ninja. Andaikan ada olimpiade sains ilmu kejahilan, maka medali emas layak dikalungkan di leher wawan karena aku yakin ia akan menjadi juaranya.
Setelah kami sampai rumah, aku langsung mandi. Sungguh tadi merupakan pertualangan yang tak bisa dilupakan. Setelah aku mandi, tiba-tiba saja seluruh tubuhku menjadi gatal. Kulitku memerah. Mungkin ini akibat kami bersembunyi di tumpukan jerami tadi. Sekarang aku sibuk menggaruk-garuk tubuhku. Rupanya hal yang sama juga dialami Wawan, terlihat ia keluar rumah juga sambil menggaruk-garuk. Kami hanya sama-sama tersenyum kecut. Berhasil lolos dari pak haji Adul, namun kami tak bisa lolos dari gatalan. Mungkin ini hukuman bagi kami yang mencuri durian pak haji Adul. Tuhan sungguh maha adil, kami memang berhasil mencabik-cabik harga diri pak haji Adul, namun tidak untuk harga diri-Nya. Tuhan selalu memiliki caranya sendiri, yang tentunya sangat misterius. Hal yang pada awalnya kami kira merupakan jalan untuk lolos dari hukuman, rupanya merupakan bagian dari hukuman itu sendiri. Kami tetap sibuk mengagaruk-garuk tubuh kami, kulit memerah karena melepuh. Malaikat pun tertawa. Menertawakan kami yang telah tertipu. Ditipu mentah-mentah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar